Sejarah Pemikiran dan Pemikiran Sejarah
(Analisis Arkeologis a la Foucault)
“Sejarah adalah pembutaan terhadap Yang-lain”,
kata Harotunian mengutip Emmanuel Lavinas, yang berasumsi negatif
terhadap sejarah. Entah bagaimana realitanya, tapi begitulah persepsi
yang berkembang akhir-akhir ini. Perjalanan hidup manusia yang sering
diwarnai konflik yang berlogika menang-kalah, ditindas atau menindas,
dan seterusnya, semakin mengesankan kewajaran proses tersebut. Terlebih
lagi dengan adanya relasi kuasa yang dilokalisasikan sebagai alat
dominasi suatu diskursus atas diskursus lain, kelompok satu atas
kelompok lainnya.
Hal lain lagi, usaha menghubung-hubungkan
antara variabel sejarah dengan variabel sejarah lainnya pada sebuah
sentral, menjadikan sejarah semakin rancu dan mulai kehilangan
identitasnya. Berangkat dari dua hal tersebut, dalam makalah singkat
ini, penulis ingin mengkaji sebuah tawaran yang dilontarkan oleh seorang
pemikir brilian asal perancis; Michel Foucault tentang sebuah
pendekatan baru dalam studi sejarah: analisis arkeologis dalam sejarah.
Dalam proses hidup manusia, diakui
ataupun tidak, faktor alam bawah sadar manusia sering membuat
keputusan-keputusan diluar alur logika bahkan keluar dari paradigma
pemikirannya sendiri. Hal seperti ini mempunyai frekuensi lebih dalam
permasalahan-permasalahan yang mempunyai sekuensi dan kontinuitas yang
tinggi; seperti sejarah. Sejarah dalam persepsi masyarakat umum sering
dianggap sebagai sebuah kehadiran yang utuh, yang jelas dapat dipetakan
dengan bahasa. Ia seakan-akan sesuatu yang dapat dirumuskan saat ini dan
seterusnya, sehingga ia diketahui dan selalu dapat dikenali. Dikenal
sebagai sejarah A, B, dan seterusnya. Tapi masih menjadi sebuah
pertanyaan mendasar: bagaimanakah sebenarnya sejarah A dan B tersebut?
Apakah ia sebuah gestalt A dan B? Ataukah ada campur tangan relasi kuasa yang mengatas namakan A dan B?.
Realita seperti ini, pada kurun waktu
yang telah lewat, mungkin belum menjadi persoalan yang berarti. Tapi
pada masa ini, permasalahan tersebut menjadi polemik yang berarti,
sehingga tidak mengherankan lagi bila terdengar asumsi-asumsi negatif
seperti yang diutarakan oleh Emmanuel Levinas diatas. Hal senada juga
diungkapkan oleh Michel Foucault, yang pada kelanjutannya asumsi-asumsi
itu membawanya pada sebuah karya monumentalnya, L’archeologie du savoir (Archeology of Knowladge)
sebuah tema yang selama ini mendasari metodologi
penyingkapan-penyingkapan dalam kajian-kajiannya dan mempu menghasilkan
karya-karyanya seperti Les Mots et les choses (kata-kata dan sesuatu); kajian dalam bahasa, Birth of Clinic (terjemah Perancis); kajian dalam kedokteran. Dalam buku-buku tersebut, bak seorang ahli purbakala ia berusaha menyingkap debu-debu yang menutupi hakikat sejarah.
Dalam kajian ini, Foucault banyak
menekankan teorinya pada bahasa sebagai variabel penting yang menjadi
akar dari problematika wacana (discourse), yang sangat berpengaruh dalam sejarah. Muncul atau tenggelamnya wacana, sentral ataukah pheri-heri, dan seterusnya.
Dalam kajian Foucault, seperti yang kita
singgung diatas, secara garis besarnya terbagi dalam dua bagian besar,
yang saling berkait erat: pembahasan bahasa sebagai akar diskursus, yang
pada akhirnya melahirkan sejarah. Dan kajian tentang dzat (esensi) yang
jangkauannya mencakup sejarah.
Berangkat dari fenomena Foucault dalam
kajian bahasa, banyak dari kaum intelektual yang mentipologikannya
sebagai pemikir strukturalis —terutama bila melihat karyanya The Birth of Clinic—
karena melihat konsep-konsep yang selama digunakan dalam analisa,
simbol, indikasi, arti (makna) dan sinkronisme. Foucault dalam konsep
linguistiknya berkonsentrasi pada bentuk dari bahasa, tidak dalam
indikasi, isi dan artinya, sehingga saat berinteraksi dengan teks,
diharapkan lebih dapat menjauhkan diri dari jeratan faktor psikologis
seperti tujuan penulis, proyek yang menekan dan lain-lain. Konsekuensi
lain dari hal tersebut adalah penundaan penilaian dan klaim dalam
diskursus: benar atau salah, hakikat atau distorsi dan semacamnya.
Meskipun Foucault sering ditipologikan
sebagai pemikir strukturalis, ia sebenarnya mempunyai metode khusus yang
berbeda dalam kajian yang telah ada. Ia yang menekankan peran teks
dalam sejarah, bagaimana teks terlibat dan digunakan, bagimana ia muncul
dan tenggelam, apa relasi yang merangkai antara teks lampau,
kontemporer dan yang akan datang. Sehingga pada akhirnya melahirkan cara
pandang baru dalam kajian bahasa dan filsafat. Ada dua hasil langsung
dari metode ini. Pertama, kajian tentang permasalahan
pengetahuan, kekuasaan dan esensi kajian yang menganalisa diversitas
praktis antara diskursus dan non-diskurusif. Kedua, dengan
metode ini, memungkinkan untuk keluar dari bidang bahasa dan
konsentrasinya dengan diskursus sebagai praktek yang mempunyai relasi
dengan praktek-praktek berbeda dalam sejarah.2 Seperti yang diutarakan oleh Foucault, ”Saya
yakin bahwa yang harus menjadi sandaran sebenarnya bukan contoh bahasa
atau indikator-indikatornya, tapi pertarungan sejarah yang membatasi
kita. Bukan relasi makna, karena sejarah tidak punya makna. Sesuatu yang
tidak diperhatikan bahwa, sejarah mempunyai kehormatan dan penuh
pertentangan. Kebalikan dari itu, sejarah bisa dipahami dan mungkin
dianalisa sampai batas yang terendah dari perincian yang sesuai dengan
rasionalitas pertentangan, strategi dan taktik.
Diskursus dalam kajian Foucault, merupakan gagasan terpenting yang dikembangkan olehnya. Dalam karyanya, archeology of knowledge,
ia mengkaji sangat dalam tentang formasi dan relasi diskursus.
Misalnya, mungkinkah analisa penyakit kepala “Willis” dan klinik Charcot
masuk dalam satu diskursus? Atau hanya sebuah rekomposisi yang menipu
ilmu modern, yang menganggapnya sebagai sekuensi untuknya? Atau ia
adalah sebuah formasi ilmu yang telah sempurna dalam bentuknya yang
paripurna dimasa lalu, kemudian berjalan seiring sang waktu tanpa adanya
perubahan? Dan kemudian, bentuk hubungan seperti apa yang dapat kita
gambarkan dari ekspresi-ekspresi tersebut?
Dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, menurut Foucault, sedikitnya ada tiga
asumsi penting tentang relasi diskursus ini. Asumsi pertama menyatakan
bahwa ekspresi-ekspresi yang berbeda bentuk dan acak dalam suatu masa
akan membentuk satu kumpulan (baca: gestalt), jika dikembalikan
pada satu tema. Pendapat ini yang lebih diunggulkan oleh Foucault.
Asumsi kedua melihat bahwa, untuk membatasi kumpulan relasi dari
sejumlah ekspresi yang ada, harus dikonsentrasikan pada format dan alur
kesinambungan. Sedang asumsi terakhir, melihat bahwa, untuk mengumpulkan
ekspresi-ekspresi itu dalam sebuah kesatuan kita harus mendeskripsikan
sekuensi (kesinambungan) dan sekuensi deskripsi tersebut, sehingga
kesatuan tersebut benar-benar mengandung gambaran, format dan
ketetapan-ketetapannya. Dari sini terlihat, bahwa Foucault lebih
cenderung menerima adanya diversitas (perbedaan-perbedaan) dalam
diskursus kemudian menyatukannya dalam satu tema yang menyeluruh dan
membentuk gestalt, karena seperti yang telah kita diatas, usaha
menghubung-hubungkan satu permasalahan dengan permasalahan yang lainnya
lebih banyak menimbulkan kerancuan dan penghapusan identitas. Namun
begitu, penentuan tema itu sendiri juga membutuhkan aturan-aturan
tersendiri. Tiga aturan yang menjadi batasan dibolehkannya tema
diskursus adalah: kali pertama yang harus dilakukan adalah observasi dan
monitoring rentang waktu pertama munculnya tema tersebut, yaitu dengan
mengeksposisi tempat yang diprediksikan munculnya perbedaan individual
yang akan dihasilkan sesuai dengan standar intelektual, konsep dan
teori. Yang bisa menjadi catatan di sini bahwa, perbedaan rentang waktu
eksposisi, tergantung pada perbedaan masyarakat, masa dan bentuk
diskursus. Kedua, Deskripsi dan batasan tingkat kemampuan dalam menentukan (ta’yin)
atau menetapkan suatu masalah. Misalnya, kedokteran sebagai yayasan
yang menjadi tempat berkumpul individu-individu, tempat pengetahuan dan
praktek dan tempat administrasi, pada abad 19 M. diakui menjadi yayasan
yang diperhitungkan masyarakat, dan berkompeten dalam menentukan siapa
yang bodoh dan tidak, standar bodoh dan batasannya. Ketiga, analisa sekat-sekat diverensiasi dan klasifikasi diskursus.
Telah menjadi suatu yang laik, bila
sebuah analisa didasarkan pada realita diskursus, maka korelasinya erat
dengan kaedah-kaedah yang disepakati tumbuhnya diskursus, dan juga
diskursus lain yang memenuhi syarat tersebut. Namun, deskripsi peristiwa
yang membentuk diskursus melontarkan pertanyaan yang berbeda: mengapa
muncul sebuah diskursus, tapi tidak dengan yang lainnya? Padahal dengan
kumpulan diskursus-diskursus tersebut, bangunan dalam sejarah dapat
tergambar dengan jelas.
Menurut Foucault, manusia sering tidak
sadar, bahwa dibalik pembicaraan yang diyakininya independen, terdapat
suatu peraturan yang tersembunyi, yang bekerja sebagai standar dalam
menentukan sebuah penyingkapan. Bentuk yang paling nampak dalam memori
otak kita seperti linguistic, ontologi dan psikoanalitis baru. Pada setiap masa tersebut, biasanya diskursus mempunyai karakteristik yang berlainan.Kala
itu, kaum intelektual mempunyai hukum bawah sadar yang mejadi landasan.
Hukum yang tidak ada kecuali pada subyek yang berbeda dalam kesadaran
tersebut, dan hukum yang menciptakan syarat-syarat pemikiran tapi tidak
seorang pun memikirkanya.
Hukum tersebut —yang nantinya melahirkan pengetahuan— disebut oleh Foucault dengan Episteme.
Jadi, ialah yang menjadi latar belakang dibalik munculnya pengetahuan
dan menjadi struktur bawah sadar yang membatasi bentuk-bentuk
pengetahuan pada setiap masanya. Menurutnya, ia terbentuk dari hubungan
konsepsi yang mendasari apa yang kita sebut A priori historique (sejarah
awal); atau syarat diterimanya kemungkinan munculnya
pengetahuan-pengetahuan dalam periode sejarah tertentu. Dan ia tidak
berlanjut pada masa yang lain. Episteme pada dasarnya
“bukan-sejarah”, tapi kumpulan syarat yang menjadikannya sebagai
sejarah, tepatnya sebagai fenomena kedua, fenomena yang ditundukkan,
pinggiran (pheri-pheri). Sebab itu epiesteme bisa
dikatakan sebagai struktur pengetahuan yang besar, yang berwatak pasti
dan menyeluruh, bukan hanya sebagai hukum penting yang menjadi dasar
pengetahuan, bahkan metode, analisa bahkan menjadi paradigma kaum
intelektual.
Setelah bergelut dalam aspek bahasa dan menghasilkan karya seperti Les Most et les choses,
selanjutnya Foucault meneruskan sebuah proyek yang tidak kalah
pentingnya, dan sempat menjadi kajian serius kaum intelektual Barat
maupun Timur seperti Muhammad
Âbid Al-Jabirî. Sebuah karya pikir yang menawarkan sebuah metode
pendekatan sejarah dengan analisis arkeologis. Pemikiran yang tertuang
secara sistematis dalam bukunya L’archeologie du savoir ini,
mendapat sambutan luar biasa dari kelompok pro dan kontra, bahkan tidak
sedikit dari kaum intelektual yang memberi label “penentang sejarah”
terhadapnya.
Dalam kajian sejarah, Foucault mengkategorikannya menjadi dua. Sejarah global (globale historie) dan sejarah umum (generale historie).
Dia berpendapat bahwa sejarah global adalah sejarah yang sesuai dengan
konsepsi intelektual yang menyeluruh. Yang berdasarkan pada
ikatan-ikatan dan mengumpukan fenomena-fenomena (bisa berupa asas,
indikasi, spirit masa…) pada satu sentral. Sedang dalam sejarah umum,
Foucault mengidentifikasikanya sebagai sejarah yang bersifat
fragmentaris, keterputusan (discontinue), acak (dis-arrangement).
Ketidakteraturan (acak) inilah hakikat sejarah umum yang ingin
ditunjukkannya kembali. Melalui sejarah umum ini, yang bercirikan dengan
kumpulan permasalahan, metode pembicaraan, sistematika-sistematika,
manitoring dan observasi yang terekam dalam dokumen dokumen periode
sejarah, Foucault berusaha membuat dasar-dasar kaedah untuk memilih,
memfilter dan kemudian memberi ketentuan besar-kecilnya hubungan yang
dibolehkan untuk menentukan kumpulan yang lain.
Dalam sejarah baru, teks tidak lagi merupakan memori yang diucapkan dengan pelbagai interpretasi an sich. Tapi ia berubah menjadi bagian-bagian arkeologia yang membutuhkan deskripsi arkeologis sebagai berikut. Pertama, memunculkan keterputusan dalam sejarah pemikiran dan menyingkap rentang waktu sejarah. Kedua, mengadakan hubungan, pembatasan dan penentuan batas elemen-elemen sejarah. Ketiga,
menjadikan konsep keterputusan sebagai konsep sentral dalam praktek
sejarah, karena keterputusan sebenarnya bukan karena problem, atau
kurangnya materi sejarah, tapi lebih hanya merupakan bentuk deskripsi
sejarawan. Sehingga keterputusan bukan lagi menjadi rintangan bagi
sejarawan, justru menjadi karakteristik metodologis yang sesuai.
Selanjutnya Foucault menjelaskan bahwa
deskripsi arkeologis ini pada dasarnya bukan bahasan tentang masa
lampau, bukan tentang sejarah pemikiran karena arkeologi tidak
berlandaskan interpretasi, bukan geologi yang membatasi diskursus itu
sendiri, bukan kajian tentang perubahan, bukan bahasan yang sedang
menjadi wacana. Arkeologi sama sekali tidak berdasar pada apa yang telah
dipikirkan atau apa yang diinginkan dan ditetapkan, tapi tujuan darinya
hanyalah deskripsi metodologis tentang tema diskursus dalam kondisi
yang berganti-ganti, untuk menyingkap hubungan-hubungan antara
sekumpulan dari bentuk-bentuk diskursus.
Dengan metode seperti ini, akan hadir konsekuensi yang menggembirakan bagi yang selama ini dianggap others,
termarginalkan. Karena dengan sengaja atau tidak, pada akhirnya nanti
akan mengangkat hal-hal tersebut sebagai diskursus, bebas persepsi,
kalim dan relasi kuasa.
Setelah berhasil menyingkap pembentukan diskursus (formation of discourse)
dengan analisis arkeologis tersebut, Foucault mencoba melengkapi dan
mengembangkannya dengan pendekatan lain; pendekatan genealogi.
Signifikansi perspektif genealogi dalam sejarah, tersirat secara
implisit bahwa, genealogi berhubungan secara langsung dengan dokumen dan
manuskrip. Dan ia mempunyai nilai plus dengan keketatan dan
kehati-hatian dalam mendevinisikan peristiwa-peristiwa dengan
persyaratannya pada wawasan yang luas. Tujuan dari genealogi ini tidak
jauh berbeda dengan arkeologi dalam mengkaji dis-kontinuitas, dis-arrangement (keacakan) sejarah dan hal menyangkut the others.
Jika arkeologis berusaha menyingkap
wilayah formasi praktek diskursusif, maka genealogi lebih mengarah pada
usaha-usaha untuk mendiskripsikan sejarah formasi-formasi sosial, yaitu
sejarah praktek-praktek non-diskurusif. Fokus sentral dari deskripsi
genealogis ini adalah relasi-relasi kekuasaan (power relations)
yang imanen dalam formasi-formasi sosial. Kuasa sebagaimana yang
dipahami Foucault, bukanlah merupakan substansi ataupun entitas otonom
yang given, yang dimiliki sekelompok individu tertentu, yang
dapat dilokalisasikan, maupun dapat dipertukarkan seperti barang
komoditi. Deskripsi genealogis bukan sebuah teori, tapi merupakan cara
pandang, sikap, etos untuk menempatkan diskursus, praktik sosial, dan
diri kita sendiri yang berada dalam wiyah-wilayah kuasa. Perpaduan
antara arkeologi dan genealogi membentuk kritisisme yang tidak dapat
dipraktekkan dalam rangka mencari struktur-struktur formal dengan nilai
universal, tapi lebih merupakan manivestasi historis terhadap
peistiwa-peristiwa yang telah menuntun kita untuk mengkonstitusi diri
kita dan mengenali diri kita sebagai subyek-subyek dari apa-apa yang
kita lakukan, kita pikirkan dan katakan.
Dan harus diakui, bahwa kesadaran sejarah
dalam setiap masa, selalu menjadi keharusan. Foucault telah melakukan
dekontruksi dalam epistemologi, dengan mengangkat lagi
diskursus-diskursus yang selama termarginalkan, dan tertutup oleh
kekuasaan eksternal, terlebih lagi kekuasaan yang mendominasi dalam alam
bawa sadar manusia. Foucault telah memperingatkan dengan mengupas
relasi-relasi kuasa tersebut, tinggal bagaimana dengan kita?
Catatan Kaki:
- Archeology adalah derivasi dari arche, dalam bahasa Yunani berarti: asas pertama. Terma yang dimaksud Foucault dalam terma ini, bukan sekedar makna harfîyah “arkeologi” atau ilmu peninggalan. Tapi maksud darinya adalah makna metaforis tentang bagian-bagian pengetahuan yang berperan dan struktur-struktur tersembunyi dibalik praktek diskursus yang mengatur di dalamnya. Sebab itu, arkeologi pengetahuan berbeda dengan sejarah klasik pengetahuan, karena arkeologi pengetahuan menyingkap tentang sekumpulan kaedah yang berperan di dalam budaya, sedang sejarah klasik pengetahuan hanya merekam peristiwa-peristiwa sekaligus artinya.
- Dia dianggap sebagai penentang sejarah atas dasar konsepsi barunya tentang sejarah yang kontradiktif dengan yang telah dipraktekkan khususnya sejarawan pemikiran dan para filusuf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar