Sabtu, 24 Desember 2016

Sejarah Pemikiran dan Pemikiran Sejarah

Sejarah Pemikiran dan Pemikiran Sejarah
(Analisis Arkeologis a la Foucault)





Sejarah adalah pembutaan terhadap Yang-lain”, kata Harotunian mengutip Emmanuel Lavinas, yang berasumsi negatif terhadap sejarah. Entah bagaimana realitanya, tapi begitulah persepsi yang berkembang akhir-akhir ini. Perjalanan hidup manusia yang sering diwarnai konflik yang berlogika menang-kalah, ditindas atau menindas, dan seterusnya, semakin mengesankan  kewajaran proses tersebut. Terlebih lagi dengan adanya relasi kuasa yang dilokalisasikan sebagai alat dominasi suatu diskursus atas diskursus lain, kelompok satu atas kelompok lainnya.
Hal lain lagi, usaha menghubung-hubungkan antara variabel sejarah dengan variabel sejarah lainnya pada sebuah sentral, menjadikan sejarah semakin rancu dan mulai kehilangan identitasnya. Berangkat dari dua hal tersebut, dalam makalah singkat ini, penulis ingin mengkaji sebuah tawaran yang dilontarkan oleh seorang pemikir brilian asal perancis; Michel Foucault tentang sebuah pendekatan baru dalam studi sejarah: analisis arkeologis dalam sejarah.


Dalam proses hidup manusia, diakui ataupun tidak, faktor alam bawah sadar manusia sering membuat keputusan-keputusan diluar alur logika bahkan keluar dari paradigma pemikirannya sendiri. Hal seperti ini mempunyai frekuensi lebih dalam permasalahan-permasalahan yang mempunyai sekuensi dan kontinuitas yang tinggi; seperti sejarah. Sejarah dalam persepsi masyarakat umum sering dianggap sebagai sebuah kehadiran yang utuh, yang jelas dapat dipetakan dengan bahasa. Ia seakan-akan sesuatu yang dapat dirumuskan saat ini dan seterusnya, sehingga ia diketahui dan selalu dapat dikenali. Dikenal sebagai sejarah A, B, dan seterusnya. Tapi masih menjadi sebuah pertanyaan mendasar: bagaimanakah sebenarnya sejarah A dan B tersebut? Apakah ia sebuah gestalt A dan B? Ataukah ada campur tangan relasi kuasa yang mengatas namakan A dan B?.

Realita seperti ini, pada kurun waktu yang telah lewat, mungkin belum menjadi persoalan yang berarti. Tapi pada masa ini, permasalahan tersebut menjadi polemik yang berarti, sehingga tidak mengherankan lagi bila terdengar asumsi-asumsi negatif seperti yang diutarakan oleh Emmanuel Levinas diatas. Hal senada juga diungkapkan oleh Michel Foucault, yang pada kelanjutannya asumsi-asumsi itu membawanya pada sebuah karya monumentalnya, L’archeologie du savoir (Archeology of Knowladge) sebuah tema yang selama ini mendasari metodologi penyingkapan-penyingkapan dalam kajian-kajiannya dan mempu menghasilkan karya-karyanya seperti Les Mots et les choses (kata-kata dan sesuatu); kajian dalam bahasa, Birth of Clinic (terjemah Perancis); kajian dalam kedokteran. Dalam buku-buku tersebut, bak seorang ahli purbakala ia berusaha menyingkap debu-debu yang menutupi hakikat sejarah.

Dalam kajian ini, Foucault banyak menekankan teorinya pada bahasa sebagai variabel penting yang menjadi akar dari problematika wacana (discourse), yang sangat berpengaruh dalam sejarah. Muncul atau tenggelamnya wacana, sentral ataukah pheri-heri, dan seterusnya.


Dalam kajian Foucault, seperti yang kita singgung diatas, secara garis besarnya terbagi dalam dua bagian besar, yang saling berkait erat: pembahasan bahasa sebagai akar diskursus, yang pada akhirnya melahirkan sejarah. Dan kajian tentang dzat (esensi) yang jangkauannya mencakup sejarah.
Berangkat dari fenomena Foucault dalam kajian bahasa, banyak dari kaum intelektual yang mentipologikannya sebagai pemikir strukturalis —terutama bila melihat karyanya The Birth of Clinic— karena melihat konsep-konsep yang selama digunakan dalam analisa, simbol, indikasi, arti (makna) dan sinkronisme. Foucault dalam konsep linguistiknya berkonsentrasi pada bentuk dari bahasa, tidak dalam indikasi, isi dan artinya, sehingga saat berinteraksi dengan teks, diharapkan lebih dapat menjauhkan diri dari jeratan faktor psikologis seperti tujuan penulis, proyek yang menekan dan lain-lain. Konsekuensi lain dari hal tersebut adalah penundaan penilaian dan klaim dalam diskursus: benar atau salah, hakikat atau distorsi dan semacamnya.

Meskipun Foucault sering ditipologikan sebagai pemikir strukturalis, ia sebenarnya mempunyai metode khusus yang berbeda dalam kajian yang telah ada. Ia yang menekankan peran teks dalam sejarah, bagaimana teks terlibat dan digunakan, bagimana ia muncul dan tenggelam, apa relasi yang merangkai antara teks lampau, kontemporer dan yang akan datang. Sehingga pada akhirnya melahirkan cara pandang baru dalam kajian bahasa dan filsafat. Ada dua hasil langsung dari metode ini. Pertama, kajian tentang permasalahan pengetahuan, kekuasaan dan esensi kajian yang menganalisa diversitas praktis antara diskursus dan non-diskurusif. Kedua, dengan metode ini, memungkinkan untuk keluar dari bidang bahasa dan konsentrasinya dengan diskursus sebagai praktek yang mempunyai relasi dengan praktek-praktek berbeda dalam sejarah.2 Seperti yang diutarakan oleh Foucault, ”Saya yakin bahwa yang harus menjadi sandaran sebenarnya bukan contoh bahasa atau indikator-indikatornya, tapi pertarungan sejarah yang membatasi kita. Bukan relasi makna, karena sejarah tidak punya makna. Sesuatu yang tidak diperhatikan bahwa, sejarah mempunyai kehormatan dan penuh pertentangan. Kebalikan dari itu, sejarah bisa dipahami dan mungkin dianalisa sampai batas yang terendah dari perincian yang sesuai dengan rasionalitas pertentangan, strategi dan taktik.

Diskursus dalam kajian Foucault, merupakan gagasan terpenting yang dikembangkan olehnya. Dalam karyanya, archeology of knowledge, ia mengkaji sangat dalam tentang formasi dan relasi diskursus. Misalnya, mungkinkah analisa penyakit kepala “Willis” dan klinik Charcot masuk dalam satu diskursus? Atau hanya sebuah rekomposisi yang menipu ilmu modern, yang menganggapnya sebagai sekuensi untuknya? Atau ia adalah sebuah formasi ilmu yang telah sempurna dalam bentuknya yang paripurna dimasa lalu, kemudian berjalan seiring sang waktu tanpa adanya perubahan? Dan kemudian, bentuk hubungan seperti apa yang dapat kita gambarkan dari ekspresi-ekspresi tersebut? 

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, menurut Foucault, sedikitnya ada tiga asumsi penting tentang relasi diskursus ini. Asumsi pertama menyatakan bahwa ekspresi-ekspresi yang berbeda bentuk dan acak dalam suatu masa akan membentuk satu kumpulan (baca: gestalt), jika dikembalikan pada satu tema. Pendapat ini yang lebih diunggulkan oleh Foucault. Asumsi kedua melihat bahwa, untuk membatasi kumpulan relasi dari sejumlah ekspresi yang ada, harus dikonsentrasikan pada format dan alur kesinambungan. Sedang asumsi terakhir, melihat bahwa, untuk mengumpulkan ekspresi-ekspresi itu dalam sebuah kesatuan kita harus mendeskripsikan sekuensi (kesinambungan) dan sekuensi deskripsi tersebut, sehingga kesatuan tersebut benar-benar mengandung gambaran, format dan ketetapan-ketetapannya. Dari sini terlihat, bahwa Foucault lebih cenderung menerima adanya diversitas (perbedaan-perbedaan) dalam diskursus kemudian menyatukannya dalam satu tema yang menyeluruh dan membentuk gestalt, karena seperti yang telah kita diatas, usaha menghubung-hubungkan satu permasalahan dengan permasalahan yang lainnya lebih banyak menimbulkan kerancuan dan penghapusan identitas. Namun begitu, penentuan tema itu sendiri juga membutuhkan aturan-aturan tersendiri. Tiga aturan yang menjadi batasan dibolehkannya tema diskursus adalah: kali pertama yang harus dilakukan adalah observasi dan monitoring rentang waktu pertama munculnya tema tersebut, yaitu dengan mengeksposisi tempat yang diprediksikan munculnya perbedaan individual yang akan dihasilkan sesuai dengan standar intelektual, konsep dan teori. Yang bisa menjadi catatan di sini bahwa, perbedaan rentang waktu eksposisi, tergantung pada perbedaan masyarakat, masa dan bentuk diskursus. Kedua, Deskripsi dan batasan tingkat kemampuan dalam menentukan (ta’yin) atau menetapkan suatu masalah. Misalnya, kedokteran sebagai yayasan yang menjadi tempat berkumpul individu-individu, tempat pengetahuan dan praktek dan tempat administrasi, pada abad 19 M. diakui menjadi yayasan yang diperhitungkan masyarakat, dan berkompeten dalam menentukan siapa yang bodoh dan tidak, standar bodoh dan batasannya. Ketiga, analisa sekat-sekat diverensiasi dan klasifikasi diskursus.

Telah menjadi suatu yang laik, bila sebuah analisa didasarkan pada realita diskursus, maka  korelasinya erat dengan kaedah-kaedah yang disepakati tumbuhnya diskursus, dan juga diskursus lain yang memenuhi syarat tersebut. Namun, deskripsi peristiwa yang membentuk diskursus melontarkan pertanyaan yang berbeda: mengapa muncul sebuah diskursus, tapi tidak dengan yang lainnya? Padahal dengan kumpulan diskursus-diskursus tersebut, bangunan dalam sejarah dapat tergambar dengan jelas.

Menurut Foucault, manusia sering tidak sadar, bahwa dibalik pembicaraan yang diyakininya independen, terdapat suatu peraturan yang tersembunyi, yang bekerja sebagai standar dalam menentukan sebuah penyingkapan. Bentuk yang paling nampak dalam memori otak kita seperti linguistic, ontologi dan psikoanalitis baru. Pada setiap masa tersebut, biasanya diskursus mempunyai karakteristik yang berlainan.Kala itu, kaum intelektual mempunyai hukum bawah sadar yang mejadi landasan. Hukum yang tidak ada kecuali pada subyek yang berbeda dalam kesadaran tersebut, dan hukum yang menciptakan syarat-syarat pemikiran tapi tidak seorang pun memikirkanya.

Hukum tersebut —yang nantinya melahirkan pengetahuan— disebut oleh Foucault dengan Episteme. Jadi, ialah yang menjadi latar belakang dibalik munculnya pengetahuan dan menjadi struktur bawah sadar yang membatasi bentuk-bentuk pengetahuan pada setiap masanya. Menurutnya, ia terbentuk dari hubungan konsepsi yang mendasari apa yang kita sebut A priori historique (sejarah awal); atau syarat diterimanya kemungkinan munculnya pengetahuan-pengetahuan dalam periode sejarah tertentu. Dan ia tidak berlanjut pada masa yang lain. Episteme pada dasarnya “bukan-sejarah”, tapi kumpulan syarat yang menjadikannya sebagai sejarah, tepatnya sebagai fenomena kedua, fenomena yang ditundukkan, pinggiran (pheri-pheri). Sebab itu epiesteme bisa dikatakan sebagai struktur pengetahuan yang besar, yang berwatak pasti dan menyeluruh, bukan hanya sebagai hukum penting yang menjadi dasar pengetahuan, bahkan metode, analisa bahkan menjadi paradigma kaum intelektual.


Setelah bergelut dalam aspek bahasa dan menghasilkan karya seperti Les Most et les choses, selanjutnya Foucault meneruskan sebuah proyek yang tidak kalah pentingnya, dan sempat menjadi kajian serius kaum intelektual Barat maupun Timur seperti Muhammad Âbid Al-Jabirî. Sebuah karya pikir yang menawarkan sebuah metode pendekatan sejarah dengan analisis arkeologis. Pemikiran yang tertuang secara sistematis dalam bukunya L’archeologie du savoir ini, mendapat sambutan luar biasa dari kelompok pro dan kontra, bahkan tidak sedikit dari kaum intelektual yang memberi label “penentang sejarah” terhadapnya.

Dalam kajian sejarah, Foucault mengkategorikannya menjadi dua. Sejarah global (globale historie) dan sejarah umum (generale historie). Dia berpendapat bahwa sejarah global adalah sejarah yang sesuai dengan konsepsi intelektual yang menyeluruh. Yang berdasarkan pada ikatan-ikatan dan mengumpukan fenomena-fenomena (bisa berupa asas, indikasi, spirit masa…) pada satu sentral. Sedang dalam sejarah umum, Foucault mengidentifikasikanya sebagai sejarah yang bersifat fragmentaris, keterputusan (discontinue), acak (dis-arrangement). Ketidakteraturan (acak) inilah hakikat sejarah umum yang ingin ditunjukkannya kembali. Melalui sejarah umum ini, yang bercirikan dengan kumpulan permasalahan, metode pembicaraan, sistematika-sistematika, manitoring dan observasi yang terekam dalam dokumen dokumen periode sejarah, Foucault berusaha membuat dasar-dasar kaedah untuk memilih, memfilter dan kemudian memberi ketentuan besar-kecilnya hubungan yang dibolehkan untuk menentukan kumpulan yang lain.

Dalam sejarah baru, teks tidak lagi merupakan memori yang diucapkan dengan pelbagai interpretasi an sich. Tapi ia berubah menjadi bagian-bagian arkeologia yang membutuhkan deskripsi arkeologis sebagai berikut. Pertama, memunculkan keterputusan dalam sejarah pemikiran dan menyingkap rentang waktu sejarah. Kedua, mengadakan hubungan, pembatasan dan penentuan batas elemen-elemen sejarah. Ketiga, menjadikan konsep keterputusan sebagai konsep sentral dalam praktek sejarah, karena keterputusan sebenarnya bukan karena problem, atau kurangnya materi sejarah, tapi lebih hanya merupakan bentuk deskripsi sejarawan. Sehingga keterputusan bukan lagi menjadi rintangan bagi sejarawan, justru menjadi karakteristik metodologis yang sesuai.
Selanjutnya Foucault menjelaskan bahwa deskripsi arkeologis ini pada dasarnya bukan bahasan tentang masa lampau, bukan tentang sejarah pemikiran karena arkeologi tidak berlandaskan interpretasi, bukan geologi yang membatasi diskursus itu sendiri, bukan kajian tentang perubahan, bukan bahasan yang sedang menjadi wacana. Arkeologi sama sekali tidak berdasar pada apa yang telah dipikirkan atau apa yang diinginkan dan ditetapkan, tapi tujuan darinya hanyalah deskripsi metodologis tentang tema diskursus dalam kondisi yang berganti-ganti, untuk menyingkap hubungan-hubungan antara sekumpulan dari bentuk-bentuk diskursus.
Dengan metode seperti ini, akan hadir konsekuensi yang menggembirakan bagi yang selama ini dianggap others, termarginalkan. Karena dengan sengaja atau tidak, pada akhirnya nanti akan mengangkat hal-hal tersebut sebagai diskursus, bebas persepsi, kalim dan relasi kuasa.


Setelah berhasil menyingkap pembentukan diskursus (formation of discourse) dengan analisis arkeologis tersebut, Foucault mencoba melengkapi dan mengembangkannya dengan pendekatan lain; pendekatan genealogi. Signifikansi perspektif genealogi dalam sejarah, tersirat secara implisit bahwa, genealogi berhubungan secara langsung dengan dokumen dan manuskrip. Dan ia mempunyai nilai plus dengan keketatan dan kehati-hatian dalam mendevinisikan peristiwa-peristiwa dengan persyaratannya pada wawasan yang luas. Tujuan dari genealogi ini tidak jauh berbeda dengan arkeologi dalam mengkaji dis-kontinuitas, dis-arrangement (keacakan) sejarah dan hal menyangkut the others.

Jika arkeologis berusaha menyingkap wilayah formasi praktek diskursusif, maka genealogi lebih mengarah pada usaha-usaha untuk mendiskripsikan sejarah formasi-formasi sosial, yaitu sejarah praktek-praktek non-diskurusif. Fokus sentral dari deskripsi genealogis ini adalah relasi-relasi kekuasaan (power relations) yang imanen dalam formasi-formasi sosial. Kuasa sebagaimana yang dipahami Foucault, bukanlah merupakan substansi ataupun entitas otonom yang given, yang dimiliki sekelompok individu tertentu, yang dapat dilokalisasikan, maupun dapat dipertukarkan seperti barang komoditi. Deskripsi genealogis bukan sebuah teori, tapi merupakan cara pandang, sikap, etos untuk menempatkan diskursus, praktik sosial, dan diri kita sendiri yang berada dalam wiyah-wilayah kuasa. Perpaduan antara arkeologi dan genealogi membentuk kritisisme yang tidak dapat dipraktekkan dalam rangka mencari struktur-struktur formal dengan nilai universal, tapi lebih merupakan manivestasi historis terhadap peistiwa-peristiwa yang telah menuntun kita untuk mengkonstitusi diri kita dan mengenali diri kita sebagai subyek-subyek dari apa-apa yang kita lakukan, kita pikirkan dan katakan.


Dan harus diakui, bahwa kesadaran sejarah dalam setiap masa, selalu menjadi keharusan. Foucault telah melakukan dekontruksi dalam epistemologi, dengan mengangkat lagi diskursus-diskursus yang selama termarginalkan, dan tertutup oleh kekuasaan eksternal, terlebih lagi kekuasaan yang mendominasi dalam alam bawa sadar manusia. Foucault telah memperingatkan dengan mengupas relasi-relasi kuasa tersebut, tinggal bagaimana dengan kita?

Catatan Kaki:
  1. Archeology adalah derivasi dari arche, dalam bahasa Yunani berarti: asas pertama. Terma yang dimaksud Foucault dalam terma ini, bukan sekedar makna harfîyah “arkeologi” atau ilmu peninggalan. Tapi maksud darinya adalah makna metaforis tentang bagian-bagian pengetahuan yang berperan dan struktur-struktur tersembunyi dibalik praktek diskursus yang mengatur di dalamnya. Sebab itu, arkeologi pengetahuan berbeda dengan sejarah klasik pengetahuan, karena arkeologi pengetahuan menyingkap tentang sekumpulan kaedah yang berperan di dalam budaya, sedang sejarah klasik  pengetahuan hanya merekam peristiwa-peristiwa sekaligus artinya.
  2. Dia dianggap sebagai penentang sejarah atas dasar konsepsi barunya tentang sejarah yang kontradiktif dengan yang telah dipraktekkan khususnya sejarawan pemikiran dan para filusuf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar