Sabtu, 24 Desember 2016

Kesadaran Sejarah & Filsafat Sains

Thomas S. Kuhn:
Kesadaran Sejarah & Filsafat Sains

 

Filsafat ilmu tanpa sejarah ilmu kosong, dan sejarah ilmu tanpa filsafat ilmu buta
(Imre Lakatus)



Meskipun eksistensi sejarah sebagai ilmu masih dipertentangkan oleh sebagian ilmuan, namun tetap tidak dapat dipungkiri, bahwa sejarah telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam perkembangan tidak hanya pengetahuan (knowledge) tapi juga dalam ilmu (sains) yang terealisasikan dalam wujud kemajuan teknologi saat ini.

Telah menjadi persepsi sebagian masyarakat-bahkan juga ilmuwan-bahwa sejarah merupakan deskripsi atau narasi dari fenomena atau kejadian yang telah berlalu masanya. Kecenderungan para intelektual untuk menulis ulang prestasi atau hasil-hasil produk sejarah dengan simpel dan singkat, sering menjadikan seorang penulis sejarah menafikan peristiwa-peristiwa penting dalam pembahasan ilmiah sehingga menjadikan sejarah rentan terhadap kesalahan (inakurasi).

Kejadian ironis dalam penulisan sejarah ini, bisa dikatakan hampir terjadi dalam semua dimensi keilmuan. Tidak luput dari itu, juga terjadi dalam sejarah ilmu (history of science). Dari beberapa faktor kesalahan dalam filsafat ilmu ini, yang dianggap fatal adalah tidak adanya spesialisasi dan profesionalitas dalam bidang tersebut. Sehingga secara singkat dan mengarah pada solusi yang mungkin diambil, bahwa dalam penulisan sejarah ilmu dituntut di dalamnya manusia-manusia yang mempunyai spesialisasi dan profesionalitas dalam bidang keilmuan tersebut.

Kontiunitas dalam penulisan sejarah ilmu ini adalah merupakan keharusan dalam setiap generasi. Tingginya urgenitas dalam penulisan ini, setidaknya bisa dikembalikan pada dua poin penting dalam pembahasan sejarah ilmu. Pertama, untuk menentukan siapa penemu atau yang menyingkap teori-teori atau hukum sains; kedua, menjelaskan beberapa kesalahan, hal mistikal dan legenda yang masuk dalam akselerasi akumulasi sains. (Dalam hal ini, para filsuf logika empiris berpendapat bahwa peran dan fungsi sejarah ilmu adalah menepis segala bentuk khurafat dan hal-hal berbau mistik yang menghalangi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan).

Point pertama dari permasalaham ini, meskipun terkesan bukan permasalahan yang rumit, bahkan sering dianggap telah selesai, tapi sebenarnya, sampai saat ini pun, masih menjadi problematika yang susah dicari ujung pangkalmya. Sebagai contoh kecil, masih menjadi pertanyaan bagi kita siapakah penemu oksigen yang sebenarnya? Carl Wilhelm Scheele (1742-1786 M)-kah? Ataukah Joseph Priesly (1733-1804 M) dan atau Anthoine Laurent Lavoisier (1743-1794 M)?3 Ketidakpastian ini sebenarnya sangat berkaitan sekali, bahkan bisa dikatakan efek dengan poin kedua yaitu akumulasi dan struktur bangunan ilmu.


Ada dugaan-yang berkembang selama ini-bahwa perkembangan dan kemajuan sains modern saat ini berjalan melalui proses akumulasi dari hasil penemuan-penemuan sebelumnya. Bila diibaratkan sebagai bangunan, ia adalah bangunan yang berdiri atas susunan batu-batu sains yang telah dicapai pada masa-masa sebelumnya. Tentu hal ini bukanlah harga mati yang undebatable bagi sebagian ilmuwan, sehingga hal ini juga yang menggelitik Kuhn untuk menilik kembali sejauh mana keterkaitan hubungan perkembangan sains dan variabel-variabel yang menyertainya dalam periode-periode tertentu.

Untuk dapat melihat lebih jelasnya perkembangan ilmu (sains), Thomas S.Kuhn dalam filsafatnya membagi tiga periode penting yang saling berkait satu sama lain dan sekaligus menjadikan ketiga periode tersebut sebagai jenjang dalam proses kemajuan ilmu. Bila dirinci secara lebih detail, tiga periode tersebut yaitu: pertama, periode ilmu biasa (natural sciences); kedua, periode krisis dan periode terakhir adalah periode revolusi. Ketiga-tiganya berkaitan sangat erat dengan sebuah permasalahan yang menjadi inti dalam teori Kuhn, yaitu paradigma. (Paradigma, menurut Kuhn, adalah teori umum yang dipakai sekelompok masyarakat pada sebuah masa tertentu).

Bila kita mencermati fokus konsentrasi Kuhn, bisa kita dapati, memang Kuhn lebih banyak menekankan pembahasannya pada apa yang disebut dengan ‘paradigma’ ini. Dalam pandangannya, paradigma adalah landasan teori dalam natural sciences. Untuk lebih jelasnya urgensi sebuah paradigma dan peran pentingnya Kuhn menjelaskan dalam beberapa poin penting, bisa ditilik beberapa persoalan penting. Pertama, ada problematika yang sangat rumit yang kita hadapi untuk memecahkan kaedah-kaedah yang kita temui dalam tradisi natural sciences, yaitu problem yang sangat mirip sekali dengan yang dihadapi seorang filsuf saat berusaha menjelaskan bagian-bagian kolektif yang ada dalam permainan-permainan. Kedua, problem dalam pengajaran ilmu (sains). Para ilmuwan tidak mempelajari konsep, hukum dan teori-teori sebagai sesuatu yang terpisah dari yang lain. Tapi dari pertama, mereka mendapati piranti-piranti akal ini sebagai sebuah kesatuan yang didahului unsur sejarah dan pendidikan yang berfungsi untuk menjelaskan piranti-piranti akal dan aplikasi ilmiahnya. Sehingga tiap teori baru muncul dengan dibarengi iringan aplikasinya pada fenomena yang terbatas. Ketiga, sebuah paradigma bisa melihat sebuah pembahasan dengan berinteraksi paradigma itu sendiri, dan tanpa kaedah. Tapi tidak dalam natural sciences, karena natural sciences mungkin untuk bertolak dengan tanpa kaedah, namun hanya pada satu kesempatan saja yaitu disaat masyarakat ilmiah menerima sebuah pemikiran tanpa menolak sama sekali pada hasilnya.

Simpelnya, bisa dikatakan bahwa paradigma adalah contoh yang diterima (baca: digunakan). Paradigma dianggap sebagai asal yang menjadi dasar analogi bentuk-bentuk yang berpotensi untuk mereposisi sebuah asal dari dasarnya. Dalam tradisi science jarang ditemukan sebuah paradigma yang bisa diulang, tapi secara langsung dan dalam satu waktu diganti, bila dianggap tidak mempunyai relevansi lagi. Sebuah paradigma dalam sains, menempati posisi karena ia lebih berhasil dari paradigma yang menjadi tandingannya dalam memecahkan problem-problem yang dianggap penting oleh sekelompok ilmuwan.  Tapi meskipun begitu tidak berarti ia telah sempurna. Keberhasilan sebuah paradigma, misalnya, analisa Ariestoteles (384-322 SM) dalam gerak, perhitungan Ptolemy (2 M) tentang posisi bintang-bintang, timbangan Antoine Laurent Lavoisier (1743-1794 M) atau perhitungan James Clerk Mawell (1831-1879 M) dalam bidang elektro-magnetis, adalah permulaan atau bisa dikatakan janji keberhasilan untuk menyingkap permasalahan-permasalahan yang belum sempurna.

Nah, pada saat inilah, peran dan fungsi natural sciences terlihat yaitu untuk merealisasifaktualkan janji-janji tersebut dengan jalan menambah bidang pembahasan yang sesuai dengan realitas-realitas dan prediksi dari paradigma tersebut dengan lebih dalam dan teliti. Pada periode ini perkembangan ilmu mengalami kemajuan lebih dalam dan detail dengan pemecahan teka-teki (puzzle) yang selama ini belum terpecahkan. Hal ini berjalan dalam proses akumulasi. Namun dalam keadaan seperti ini, justru dalam sains tidak ada penemuan atau penciptaan, kreasi besar atau inovasi yang berarti. Dengan kata lain natural sciences hanya merupakan pembahasan ilmiah yang berbentuk penjelasan tentang fenomena-fenomena dan teori yang terikat dengan paradigma yang sedang eksis, sehingga bidang pembahasannya menjadi terbatas dan sedikit sekali.

Namun meskipun begitu dalam kenyataannya, banyak di antara ilmuwan yang tetap setia dalam paradigma tersebut. Sehingga mungkin timbul sebuah pertanyaan di benak kita, mengapa para ilmuwan tetap bertahan pada keadaan yang dalam kenyataanya sebenarnya mengikat mereka sendiri? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita melihat beberapa faktor yang menjadikan mereka tetap bertahan pada keadaan dan posisi ini. Pertama, realita-realita yang dimunculkan sebuah paradigma adalah sesuatu yang berbeda dengan watak atau tabiat yang terlihat, sebagai contoh dalam astronomi misalnya, paradigma berhasil menyingkap tentang posisi dan ukuran besar bintang-bintang, rotasi bintang yang selama ini tidak dibayangkan oleh sebagian besar orang. Dalam kimia misalnya ditemukan titik didih air dan masih banyal hal lainnya. Kedua, berhubungan dengan fenomena-fenomena yang meskipun bukan hal yang penting sekali, tapi ia mempunyai kelebihan dengan kemungkinannya untuk dibandingkan secara langsung dengan teori-teori paradigma tersebut. Sebagai contoh diciptakannya alat Foucault’s Apparatus—alat yang menunjukkan kecepatan cahaya di udara lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan cahaya di laut—setelah teori Foucault, maka dengan keberadaan alat ini secara tidak langsung telah memperkuat eksistensi sebuah paradigma, dan bagi pendukungnya sangat berpengaruh untuk tetap eksis dalam paradigma tersebut. Ketiga, eksperimen dan bukti-bukti yang diambil dari aktifitas natural sciences.


Kembali pada perkembangan natural sciences, natural sciences ini terus berkembang dalam proses akumulatif ini sampai pada batas dimana terlihat suatu keanehan (syudzûdz, anomali), yaitu sebuah fenomena yang sama sekali tidak dipredikisikan oleh paradigma yang digunakan, sehingga paradigma tersebut tidak mempunyai kesiapan dalam berinteraksi dengan keanehan (syudzudz) tersebut. Dalam posisi seperti ini natural sciences mulai keluar dari paradigma dan mulai mengadaptasikannya dengan realita tersebut. Tapi bila adaptasi antara paradigma dan realita tersebut telah melebihi batas dari paradigma tersebut, berarti telah ia masuk pada masa krisis, dan pengatahuan dalam hal ini tidak lagi bersifat akumulatif tapi berubah revolusif, yaitu dengan perubahan mendasar dari sebuah paradigma ke paradigma yang lain.

Natural sciences dalam masa krisis ini, mempunyai ciri khusus yang berbeda bila dibandingkan dengan periode biasa. Dalam memandang sebuah teka-teki (puzzle), natural sciences tidak melihat lain kecuali teka-teki itu sendiri, lain halnya pada masa krisis, teka-teki (puzzle) tidak dipandang lagi sebagai sebuah teka-teki, tapi lebih dari itu ia dipandang sebagai bukti konfrontatif. Berdasarkan atas hal ini, maka apa yang dilihat ptolemy sebagai teka-teki dalam usaha menyatukan antara sebuah teori dan dan bukti (baca: realita), dipandang oleh Copernicus sebagai bukti-bukti konfrontatif, apa yang dianggap Joseph Priestly pada teka-teki yang dipecahkannya dari Phlogiston, dipandang sebagai bukti-bukti konfrontatif oleh Anthoine Laurent Lavoisier, dan begitu juga dengan yang lain.

Bermula dari periode krisis, para scientist pendukung paradigma-paradigma tertentu mempunyai kesulitan yang luar biasa dalam usaha mengkombinasikan paradigma mereka masing. Dikatakan dengan makna lain, mereka seakan tidak mempunyai alternatif lain untuk merealisasikan hubungan-hubungan dalam cara pandang terhadap paradigma-paradigma tersebut. Kesulitan-kesulitan ini kembalikan pada beberapa sebab. Pertama, pendukung paradigma-paradigma yang bersaing berbeda dalam daftar permasalahan yang harus dipecahkan oleh paradigma baru. Hal ini bisa terjadi karena ketidaksamaan mereka dalam standar-standar dan definisi ilmu. Kedua, paradigma baru yang lahir dari paradigma lama, biasanya mengandung sebagian besar dari terminologi dan piranti-pirantinya yang berupa konsep ataupun proses atau eksperimen yang telah digunakan oleh paradigma lama. Dan terminologi, konsep dan eksperimen paradigma lama saat menjadi bagian dalam paradigma baru, masuk dalam hubungan-hubungan baru antara bagian satu dengan bagian yang lainnya. Dan hasil pasti yang harus kita katakan dari ini-meskipun kalimat tidak seratus persen tepat-adalah kesalahpahaman antara dua studi yang bersaing ini. Sebagai contoh disaat Copernicus mengatakan bahwa bumi bergerak, saat itu juga ia dianggap gila. Kesalahan itu bukan karena ia salah redaksi atau kesalahan pada kalimat atau arti, tapi karena yang dianggap bumi oleh masyarakatnya adalah tempat yang tetap, yang tidak mungkin bergerak. Ketiga, bisa dikatakan dengan makna, bahwa pendukung paradigma-paradigma ini melaksanakan aktifitas dalam dunia yang berbeda. Setiap kelompok ilmuwan ini melihat dunia yang mengelilinya, dan dunia yang mereka lihat itu tidak berubah. Sedangkan kelompok yang melihat mereka dalam hubungan-hubungan yang berbeda, begitupula sebaliknya.

Keadaan seperti ini dalam kelanjutannya, tidak sedikit menimbulkan sikap apologis dan tertutup, sehingga sebagian dari mereka bertahan dalam prinsipnya sampai pada bukti yang pasti. Dengan jalan konfrontasi dan perubahan paradigma dengan bukti pasti menjadi alternatif tunggal. Namun demikian tidaklah berarti bahwa argumen-argumen sebelum adanya bukti, tidaklah bernilai dan tidak ada jalan lain menyadarkan para ilmuwan tersebut dari jalan pikiran mereka. Hanya saja hal tersebut membutuhkan proses yang memakan kurun waktu yang relatif lama bahkan sampai satu abad lamanya. Dan pada akhirnya, mungkin revolusi ilmu (sains) yang relevan dan menjadi solusi-alternatif. Dan bila demikian kenyataannya-sesuai dengan apa yang menjadi tesa Thomas S.Kuhn, bahwa kita harus memulai pada sebuah kesadaran baru dalam sejarah terutama sejarah sains dengan sebuah fakta bahwa sejarah ilmu (sains) tidak berjalan dalam proses akumulasi seperti yang telah menghegemoni selama ini.

1 komentar:

  1. Merkur 34c Review: The ultimate in modern day gaming
    Merkur 34C 바카라사이트 Review: The ultimate in 메리트 카지노 주소 modern 메리트카지노 day gaming

    BalasHapus