Thomas S. Kuhn:
Kesadaran Sejarah & Filsafat Sains
“Filsafat ilmu tanpa sejarah ilmu kosong, dan sejarah ilmu tanpa filsafat ilmu buta”
(Imre Lakatus)
Meskipun eksistensi sejarah sebagai ilmu
masih dipertentangkan oleh sebagian ilmuan, namun tetap tidak dapat
dipungkiri, bahwa sejarah telah memberikan sumbangan yang sangat besar
dalam perkembangan tidak hanya pengetahuan (knowledge) tapi juga dalam ilmu (sains) yang terealisasikan dalam wujud kemajuan teknologi saat ini.
Telah menjadi persepsi sebagian
masyarakat-bahkan juga ilmuwan-bahwa sejarah merupakan deskripsi atau
narasi dari fenomena atau kejadian yang telah berlalu masanya.
Kecenderungan para intelektual untuk menulis ulang prestasi atau
hasil-hasil produk sejarah dengan simpel dan singkat, sering menjadikan
seorang penulis sejarah menafikan peristiwa-peristiwa penting dalam
pembahasan ilmiah sehingga menjadikan sejarah rentan terhadap kesalahan
(inakurasi).
Kejadian ironis dalam penulisan sejarah
ini, bisa dikatakan hampir terjadi dalam semua dimensi keilmuan. Tidak
luput dari itu, juga terjadi dalam sejarah ilmu (history of science).
Dari beberapa faktor kesalahan dalam filsafat ilmu ini, yang dianggap
fatal adalah tidak adanya spesialisasi dan profesionalitas dalam bidang
tersebut. Sehingga secara singkat dan mengarah pada solusi yang mungkin
diambil, bahwa dalam penulisan sejarah ilmu dituntut di dalamnya
manusia-manusia yang mempunyai spesialisasi dan profesionalitas dalam
bidang keilmuan tersebut.
Kontiunitas dalam penulisan sejarah ilmu
ini adalah merupakan keharusan dalam setiap generasi. Tingginya
urgenitas dalam penulisan ini, setidaknya bisa dikembalikan pada dua
poin penting dalam pembahasan sejarah ilmu. Pertama, untuk menentukan siapa penemu atau yang menyingkap teori-teori atau hukum sains; kedua,
menjelaskan beberapa kesalahan, hal mistikal dan legenda yang masuk
dalam akselerasi akumulasi sains. (Dalam hal ini, para filsuf logika
empiris berpendapat bahwa peran dan fungsi sejarah ilmu adalah menepis
segala bentuk khurafat dan hal-hal berbau mistik yang menghalangi
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan).
Point pertama dari permasalaham ini,
meskipun terkesan bukan permasalahan yang rumit, bahkan sering dianggap
telah selesai, tapi sebenarnya, sampai saat ini pun, masih menjadi
problematika yang susah dicari ujung pangkalmya. Sebagai contoh kecil,
masih menjadi pertanyaan bagi kita siapakah penemu oksigen yang
sebenarnya? Carl Wilhelm Scheele (1742-1786 M)-kah? Ataukah Joseph
Priesly (1733-1804 M) dan atau Anthoine Laurent Lavoisier (1743-1794 M)?3
Ketidakpastian ini sebenarnya sangat berkaitan sekali, bahkan bisa
dikatakan efek dengan poin kedua yaitu akumulasi dan struktur bangunan
ilmu.
Ada dugaan-yang berkembang selama
ini-bahwa perkembangan dan kemajuan sains modern saat ini berjalan
melalui proses akumulasi dari hasil penemuan-penemuan sebelumnya. Bila
diibaratkan sebagai bangunan, ia adalah bangunan yang berdiri atas
susunan batu-batu sains yang telah dicapai pada masa-masa sebelumnya.
Tentu hal ini bukanlah harga mati yang undebatable bagi
sebagian ilmuwan, sehingga hal ini juga yang menggelitik Kuhn untuk
menilik kembali sejauh mana keterkaitan hubungan perkembangan sains dan
variabel-variabel yang menyertainya dalam periode-periode tertentu.
Untuk dapat melihat lebih jelasnya
perkembangan ilmu (sains), Thomas S.Kuhn dalam filsafatnya membagi tiga
periode penting yang saling berkait satu sama lain dan sekaligus
menjadikan ketiga periode tersebut sebagai jenjang dalam proses kemajuan
ilmu. Bila dirinci secara lebih detail, tiga periode tersebut yaitu: pertama, periode ilmu biasa (natural sciences); kedua, periode krisis dan periode terakhir
adalah periode revolusi. Ketiga-tiganya berkaitan sangat erat dengan
sebuah permasalahan yang menjadi inti dalam teori Kuhn, yaitu paradigma.
(Paradigma, menurut Kuhn, adalah teori umum yang dipakai sekelompok
masyarakat pada sebuah masa tertentu).
Bila kita mencermati fokus konsentrasi
Kuhn, bisa kita dapati, memang Kuhn lebih banyak menekankan
pembahasannya pada apa yang disebut dengan ‘paradigma’ ini. Dalam
pandangannya, paradigma adalah landasan teori dalam natural sciences.
Untuk lebih jelasnya urgensi sebuah paradigma dan peran pentingnya Kuhn
menjelaskan dalam beberapa poin penting, bisa ditilik beberapa
persoalan penting. Pertama, ada problematika yang sangat rumit yang kita hadapi untuk memecahkan kaedah-kaedah yang kita temui dalam tradisi natural sciences,
yaitu problem yang sangat mirip sekali dengan yang dihadapi seorang
filsuf saat berusaha menjelaskan bagian-bagian kolektif yang ada dalam
permainan-permainan. Kedua, problem dalam pengajaran ilmu
(sains). Para ilmuwan tidak mempelajari konsep, hukum dan teori-teori
sebagai sesuatu yang terpisah dari yang lain. Tapi dari pertama, mereka
mendapati piranti-piranti akal ini sebagai sebuah kesatuan yang
didahului unsur sejarah dan pendidikan yang berfungsi untuk menjelaskan
piranti-piranti akal dan aplikasi ilmiahnya. Sehingga tiap teori baru
muncul dengan dibarengi iringan aplikasinya pada fenomena yang terbatas.
Ketiga, sebuah paradigma bisa melihat sebuah pembahasan dengan berinteraksi paradigma itu sendiri, dan tanpa kaedah. Tapi tidak dalam natural sciences, karena natural sciences
mungkin untuk bertolak dengan tanpa kaedah, namun hanya pada satu
kesempatan saja yaitu disaat masyarakat ilmiah menerima sebuah pemikiran
tanpa menolak sama sekali pada hasilnya.
Simpelnya, bisa dikatakan bahwa paradigma
adalah contoh yang diterima (baca: digunakan). Paradigma dianggap
sebagai asal yang menjadi dasar analogi bentuk-bentuk yang berpotensi
untuk mereposisi sebuah asal dari dasarnya. Dalam tradisi science jarang
ditemukan sebuah paradigma yang bisa diulang, tapi secara langsung dan
dalam satu waktu diganti, bila dianggap tidak mempunyai relevansi lagi.
Sebuah paradigma dalam sains, menempati posisi karena ia lebih berhasil
dari paradigma yang menjadi tandingannya dalam memecahkan
problem-problem yang dianggap penting oleh sekelompok ilmuwan. Tapi
meskipun begitu tidak berarti ia telah sempurna. Keberhasilan sebuah
paradigma, misalnya, analisa Ariestoteles (384-322 SM) dalam gerak,
perhitungan Ptolemy (2 M) tentang posisi bintang-bintang, timbangan
Antoine Laurent Lavoisier (1743-1794 M) atau perhitungan James Clerk
Mawell (1831-1879 M) dalam bidang elektro-magnetis, adalah permulaan
atau bisa dikatakan janji keberhasilan untuk menyingkap
permasalahan-permasalahan yang belum sempurna.
Nah, pada saat inilah, peran dan fungsi natural sciences
terlihat yaitu untuk merealisasifaktualkan janji-janji tersebut dengan
jalan menambah bidang pembahasan yang sesuai dengan realitas-realitas
dan prediksi dari paradigma tersebut dengan lebih dalam dan teliti. Pada
periode ini perkembangan ilmu mengalami kemajuan lebih dalam dan detail
dengan pemecahan teka-teki (puzzle) yang selama ini belum
terpecahkan. Hal ini berjalan dalam proses akumulasi. Namun dalam
keadaan seperti ini, justru dalam sains tidak ada penemuan atau
penciptaan, kreasi besar atau inovasi yang berarti. Dengan kata lain natural sciences hanya
merupakan pembahasan ilmiah yang berbentuk penjelasan tentang
fenomena-fenomena dan teori yang terikat dengan paradigma yang sedang
eksis, sehingga bidang pembahasannya menjadi terbatas dan sedikit
sekali.
Namun meskipun begitu dalam kenyataannya,
banyak di antara ilmuwan yang tetap setia dalam paradigma tersebut.
Sehingga mungkin timbul sebuah pertanyaan di benak kita, mengapa para
ilmuwan tetap bertahan pada keadaan yang dalam kenyataanya sebenarnya
mengikat mereka sendiri? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita
melihat beberapa faktor yang menjadikan mereka tetap bertahan pada
keadaan dan posisi ini. Pertama, realita-realita yang
dimunculkan sebuah paradigma adalah sesuatu yang berbeda dengan watak
atau tabiat yang terlihat, sebagai contoh dalam astronomi misalnya,
paradigma berhasil menyingkap tentang posisi dan ukuran besar
bintang-bintang, rotasi bintang yang selama ini tidak dibayangkan oleh
sebagian besar orang. Dalam kimia misalnya ditemukan titik didih air dan
masih banyal hal lainnya. Kedua, berhubungan dengan
fenomena-fenomena yang meskipun bukan hal yang penting sekali, tapi ia
mempunyai kelebihan dengan kemungkinannya untuk dibandingkan secara
langsung dengan teori-teori paradigma tersebut. Sebagai contoh
diciptakannya alat Foucault’s Apparatus—alat yang menunjukkan kecepatan
cahaya di udara lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan cahaya di
laut—setelah teori Foucault, maka dengan keberadaan alat ini secara
tidak langsung telah memperkuat eksistensi sebuah paradigma, dan bagi
pendukungnya sangat berpengaruh untuk tetap eksis dalam paradigma
tersebut. Ketiga, eksperimen dan bukti-bukti yang diambil dari aktifitas natural sciences.
Kembali pada perkembangan natural sciences, natural sciences ini terus berkembang dalam proses akumulatif ini sampai pada batas dimana terlihat suatu keanehan (syudzûdz,
anomali), yaitu sebuah fenomena yang sama sekali tidak dipredikisikan
oleh paradigma yang digunakan, sehingga paradigma tersebut tidak
mempunyai kesiapan dalam berinteraksi dengan keanehan (syudzudz) tersebut. Dalam posisi seperti ini natural sciences mulai
keluar dari paradigma dan mulai mengadaptasikannya dengan realita
tersebut. Tapi bila adaptasi antara paradigma dan realita tersebut telah
melebihi batas dari paradigma tersebut, berarti telah ia masuk pada
masa krisis, dan pengatahuan dalam hal ini tidak lagi bersifat
akumulatif tapi berubah revolusif, yaitu dengan perubahan mendasar dari
sebuah paradigma ke paradigma yang lain.
Natural sciences dalam masa
krisis ini, mempunyai ciri khusus yang berbeda bila dibandingkan dengan
periode biasa. Dalam memandang sebuah teka-teki (puzzle), natural sciences tidak
melihat lain kecuali teka-teki itu sendiri, lain halnya pada masa
krisis, teka-teki (puzzle) tidak dipandang lagi sebagai sebuah
teka-teki, tapi lebih dari itu ia dipandang sebagai bukti konfrontatif.
Berdasarkan atas hal ini, maka apa yang dilihat ptolemy sebagai
teka-teki dalam usaha menyatukan antara sebuah teori dan dan bukti
(baca: realita), dipandang oleh Copernicus sebagai bukti-bukti
konfrontatif, apa yang dianggap Joseph Priestly pada teka-teki yang
dipecahkannya dari Phlogiston, dipandang sebagai bukti-bukti
konfrontatif oleh Anthoine Laurent Lavoisier, dan begitu juga dengan
yang lain.
Bermula dari periode krisis, para scientist pendukung
paradigma-paradigma tertentu mempunyai kesulitan yang luar biasa dalam
usaha mengkombinasikan paradigma mereka masing. Dikatakan dengan makna
lain, mereka seakan tidak mempunyai alternatif lain untuk merealisasikan
hubungan-hubungan dalam cara pandang terhadap paradigma-paradigma
tersebut. Kesulitan-kesulitan ini kembalikan pada beberapa sebab. Pertama,
pendukung paradigma-paradigma yang bersaing berbeda dalam daftar
permasalahan yang harus dipecahkan oleh paradigma baru. Hal ini bisa
terjadi karena ketidaksamaan mereka dalam standar-standar dan definisi
ilmu. Kedua, paradigma baru yang lahir dari paradigma lama,
biasanya mengandung sebagian besar dari terminologi dan
piranti-pirantinya yang berupa konsep ataupun proses atau eksperimen
yang telah digunakan oleh paradigma lama. Dan terminologi, konsep dan
eksperimen paradigma lama saat menjadi bagian dalam paradigma baru,
masuk dalam hubungan-hubungan baru antara bagian satu dengan bagian yang
lainnya. Dan hasil pasti yang harus kita katakan dari ini-meskipun
kalimat tidak seratus persen tepat-adalah kesalahpahaman antara dua
studi yang bersaing ini. Sebagai contoh disaat Copernicus mengatakan
bahwa bumi bergerak, saat itu juga ia dianggap gila. Kesalahan itu bukan
karena ia salah redaksi atau kesalahan pada kalimat atau arti, tapi
karena yang dianggap bumi oleh masyarakatnya adalah tempat yang tetap,
yang tidak mungkin bergerak. Ketiga, bisa dikatakan dengan
makna, bahwa pendukung paradigma-paradigma ini melaksanakan aktifitas
dalam dunia yang berbeda. Setiap kelompok ilmuwan ini melihat dunia yang
mengelilinya, dan dunia yang mereka lihat itu tidak berubah. Sedangkan
kelompok yang melihat mereka dalam hubungan-hubungan yang berbeda,
begitupula sebaliknya.
Keadaan seperti ini dalam kelanjutannya,
tidak sedikit menimbulkan sikap apologis dan tertutup, sehingga sebagian
dari mereka bertahan dalam prinsipnya sampai pada bukti yang pasti.
Dengan jalan konfrontasi dan perubahan paradigma dengan bukti pasti
menjadi alternatif tunggal. Namun demikian tidaklah berarti bahwa
argumen-argumen sebelum adanya bukti, tidaklah bernilai dan tidak ada
jalan lain menyadarkan para ilmuwan tersebut dari jalan pikiran mereka.
Hanya saja hal tersebut membutuhkan proses yang memakan kurun waktu yang
relatif lama bahkan sampai satu abad lamanya. Dan pada akhirnya,
mungkin revolusi ilmu (sains) yang relevan dan menjadi
solusi-alternatif. Dan bila demikian kenyataannya-sesuai dengan apa yang
menjadi tesa Thomas S.Kuhn, bahwa kita harus memulai pada sebuah
kesadaran baru dalam sejarah terutama sejarah sains dengan sebuah fakta
bahwa sejarah ilmu (sains) tidak berjalan dalam proses akumulasi seperti
yang telah menghegemoni selama ini.
Merkur 34c Review: The ultimate in modern day gaming
BalasHapusMerkur 34C 바카라사이트 Review: The ultimate in 메리트 카지노 주소 modern 메리트카지노 day gaming