Rabu, 30 November 2016

FILSAFAT PRAGMATISME


A.  Sejarah Lahirnya Filsafat Pendidikan Pragmatisme
          Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952). Keiga filosof tersebut berbeda, baik dalam metodologi maupun dalam kesimpulannya. Pragmatisme Pierce dilandasi oleh fisika dan matematika, filsafat Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan biologi, sedangkan pragmatisme James adalah personal, psikilogis, dan bahkan mungkin religius.
          Istilah pragmatisme berasal dari perkataan “pragma” artinya praktik atau aku berbuat. Maksudnya bahwa makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan.
          Istilah lainnya yang dapat diberikan pada filsafat pragmatisme adalah instrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme, karena alirannya ini menganggap bahwa potensi intelegensi manusia sebagai kekuatan utama manusia harus dianggap sebagai alat (instrumen) untuk menghadapi semua tantangan dan masalah dalam pendidikan. Intelegensi bukanlah tujuan, melainkan alat untuk hidup, unuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Selain itu instrumentalisme menganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan akhir, melainkan hanya tujuan antara dan sementara yang merupakan alat untuk mencapai tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan akhir. Kalau suatu kegiatan telah mencapai tujuan, maka tujuan tersebut dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan berikutnya.
Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya. Eksperimentalisme menyadari dan mempraktekkan bahwa asas eksperimen (percobaan ilmiah) merupakan alat utama untuk menguji kebenaran suatu teori. Percobaan-percobaan tersebut akan membuktikan apakah suatu ide, teori, pandangan, benar atau tidak. Denganpercobaan itulah subyek memiliki pengalaman nyata untuk mengerti suatu teori, suatu ilmu pengetahuan.

B.  Konsep Dasar Filsafat Pragmatisme
Konsep dasar filsafat pragmatisme di antaranya :
1.    Realitas
Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap realitas. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus siap mengubah cara-cara yang akan dikerjakannya. Menurut Dewey, manusia secara langsung mencari dan menghadapi suatu realita disini dan sekarang sebagai lingkungan hidup.
Hakekat realita adalah perubahan yang terjadi secara terus-menerus dalam kehidupan di jagat raya ini. Teori ini didasari pandangan yang disebut “panta rei”, artinya mengalir secara terus-menerus. Bagi pragmatisme tidak dikenal istilah metafisika, karena mereka tidak pernah memikirkan hakikat dibalik realitas yang dialami dan diamati oleh pancaindera manusia.
Pengalaman manusia tentang penderittaan, kesedihan, kegembiraan, keindahan, kekacauan, kebodohan, kegagalan hidup dan sebagainya merupakan realita yang dihadapi manusia sampai ia mati. Pengalaman merupakan suatu perjuangan, karena hidup sebenarnya adalah perubahan-perubahan itu sendiri.
Menurut Noor Syam (1984), pengalaman itu dinamis, temporal, spasial, dan pluralistis.
a.    Pengalaman itu dinamis
Hidup itu selalu dinamis, menuntut penyesuaian secara terus-menerus dalam semua aspek kehidupan. Realita tersebut menuntut tindakan-tindakan dinamis yang bersifat alternattif-alternatif.
b.    Pengalaman ittu temporal
Seperti alam, kebudayaan pun mengalami perkembangan, mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pemgalaman berawal, berlangsung dalam waktu, dan berakhir pula dalam waktu.
c.    Pengalaman itu spasial
Pengalaman terjadi ditempat tertentu lingkungan kehidupan manusia.
d.   Pengalaman itu pluralistis
Pengalaman itu terjadi seluas adanya antar hubungan dan antar aksi manusia dimana individu itu terlibat. Subyek yang mengalami pengalaman menangkap dengan seluruh kepribadiannya, dengan rasa, karsa, kikir, dan pancainderanya. Sehingga pengalaman itu bersifat pluralistik.
Tema pokok filsafat pragmaisme adalah :
a.    Esensi realitas adalah perubahan.
b.    Hakikat sosial dan biologis manusia yang esensial.
c.    Relativitas nilai.
d.   Penggunaan intelegensi secara kritis.
          Watak pragmatisme adalah humanistis dan menyetujui suatu dalil “manusia adalah ukuran segala-galanya” (man is the measure of all things). Tujuan dan alat pendidikan harus fleksibel dan terbuka untuk perbaikan secara terus-menerus. Tujuan dan cara untuk mencapai tujuan pendidikan harus rasional dan ilmiah.
2.   Pengetahuan
          Pragmatisme yakin bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti. Pengetahuan sebagai transaksi antara manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian dari pengetahuan. Inti dari pengalaman adalah berupa masalah-masalah yang dihadapi oleh individu atau sekelompok individu. Pengalaman pada dasarnya selalu berubah, maka unuk memecahkan masalah tersebut adalah dengan pengetahuan-pengetahuan atau hipotesis-hipotesis. Pragmatisme mengajarkan bahwa tujuan semua berpikir adalah kemajuan hidup. Nilai pengetahuan manusia harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis.
Teori kebenaran merupakan alat yang kita pergunakan untuk memecahkan masalah dalam pengalaman kita. Oleh karena itu, pengetahuan harus dinilai menurut dalam pengertian mengenai keberhasilannya menjalankan fungsinya.
Menurut John Dewey,yang dikemukakan oleh Waini rasyidin (1992 : 144), dalam menerapkan konsep pragmatisme secara eksperimental dalm memecahkan masalah hendaknya melalui lima tahapan yaitu :

a.    Indeterminate situasion
b.    Diagnosis
c.     Hypotesis
d.   Hypotesis testing
e.     Evaluasion
Pengalaman manusia berbentuk aktifitas untuk memperolah pengetahuan. Menurut Dewey, tugas filsafat adalah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisik yang tidak ada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman, dan meneliti serta mengolah pengalaman secara kritikal.

3. Nilai
Pragmatisme mngemukakan pandangan tentang nilai, bahwa nilai itu relatif. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas nilai dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran pengetahuan. Kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan tidak tidak memihak, dansecara ilmiah memiliki nilai-nilai yang tampaknya memungkinkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia.nilai-nilai itu tidak akan dipaksakan dan akan disetujui setelah diadakan diskusi secara terbuka.nilai lahir dari keinginan, dorongan, dan perasaan serta kebiasaan manusia, sesuai dengan watak sebagai kesatuan antara faktor biologis dan sosial dalam diri dan kepribadiannya. Nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan, yang dapat dimengerti sebagai suatu wujud dalam perilaku manusia, sebagai suatu pengetahuan dan sebagai suatu ide.  
C. Implikasi Filsafat Pendidikan Pragmatisme
     1.  Konsep pendidikan
Filsafat Pragmatisme telah memberikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap teori pendidikan. John dewey merupakan okoh pragmatisme yang membahas pendidikan dan secara sistematis menyusun teori pendidikan yang didasarkan atas filsafat pragmatisme.
Menurut Dewey, terdapat dua teori pendidikan yang saling bertentangan. Kedua teori tersebut adalah paham konservatif dan “unfolding theory” (teori pemerkahan). Menurut teori konservatif, pendidikan adalah suatu pembentukan terhadap pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada pada anak. Jelasnya pendidikan merupakan proses pembentukan jiwa dari luar, dimana siswa tinggal menerima pelajaran saja, materinya sudah ditentukan pendidik.
Sedangakan “unfolding theory” berpandangan bahwa anak akan berkembang dengan sendirinya, karena kekuatan laten yang dimilikinya.  Menurut pragmatisme, pendidikan bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar, tetapi merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu dapat dikatakan baik anak maupun dewasa selalu belajar dari pengalaman.
          Selanjutnya John Dewey mengemukakan perlunya atau pentingnya pendidikan berdasarkan atas tiga pokok pemikiran, yaitu ;
1). Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup,
2). Pendidikan sebagai pertumbuhan, dan
3). Pendidikan sebagai fungsi sosial.

1). Pendidikan merupakan kebutuhan hidup
            Karena adanya anggapan baahwa pendidikan selain sebagai alat, juga berfungsi sebagai pembaharuan hidup,“a renewal of life”. Hidup itu selalu berubah, selalu menuju pada pembaharuan.hidup merupakan keseluruhan tingkatan pengalaman individu dengan kelompok. Untuk kelangsungan hidup diperlikan usaha untuk mendidik anggota masyarakat, mereka akan berusaha memenuhi kebutuhan sebagai minat pribadi (personal interest). Bahwa pembaharuan hidup tidak otomatis, melainkan banyak tergantung pada teknologi, seni, ilmu pengetahuan, dan perwujudan moral kemanusiaan. Untuk itulah semuanya membutuhkan pendidikan.
2). Pendidikan sebagai pertumbuhan
          Menurut Dewey, pertumbuhan merupakan perubahan yang berlangsung terus untuk mencapai  suatu hasil selanjutnya.Pertumbuhan itu terjadi karena kebelummatangan. Disitu anak memiliki kapasitas pertumbuhan potensi, yaitu kapasitas yang dapat tumbuh menjadi sesuatu yang berlainan, karena pengaruh yang datang dari luar. Ciri dari kebelummatangan adalah adanya ketergantungan dan plastisitas anak. Kalau diterapkan pada pendidikan, bahwa kekuatan untuk tumbuh tergantung pada kebutuhan atau ketergantungan terhadap orang lain dan plastisitas yang dimiliki anak. Yang dimaksud plastisitas adalah kemampuan belajar dari pengalaman, yang merupakan pembentukan kebiasaan. Kebiasaan yang mengambil “habituation” , yaitu keseimbangan dan kebutuhan yang ada pada aktivitas dengan lingkungan dan kapasitas yang aktif untuk mengadakan penyesuaian kembali.

3). Pendidikan sebagai fungsi sosial
Menurut Dewey, kelangsungan hidup terjadi karena self renewal. Kelangsungan ini terjadi karena pertumbuhan , karena pendidikan yang diberikan pada anak-anak dan pemuda di masyarakat. Dalam hal ini, lingkungan merupakan syarat bagi pertumbuhan, dan fungsi pendidikan merupakan “a process of leading and bringing up”, pendidikan merupakan suatu cara yang ditempuh masyarakat dalam membimbing`anak yang masih belum matang menurut bentuk susunan sosial sendiri.Sekolah merupakan alat transisi, merupakan suatu lingkungan khusus yang memiliki tiga fungsi, yaitu :
Yang pertama, menyederhanakan dan menerbitkan faktor-faktor bawaan yang dibutuhkan untuk berkembang.
Kedua, memurnikan dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada
Ketiga, menciptakan lingkungan yang lebih luas, dan lebih baik daripada yang diciptakan anak tersebut dan menjadi milik mereka untuk dikembangkan.

2. Tujuan Pendidikan
       Objektivitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat dimana anak hidup, diman pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsunnng dalam kehidupan. Menurut pragmatisme, tujuan pendidikan tidak dapat ditetapkan pada semua masyarakat, kecuali apabila terdapat hubungan timbal balik antara masing-masing individu antara masyarakat tersebut.
Jadi, tujuan pendidikan harus dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling anak dan pendidik. Tujuan pendidikan menurut pragmatisme , bersifat temporer, karena tujuan itu merupakan alat untuk bertindak.
Beberapa karakteristik tujuan pendidikan yang harus diperhatikan :
-          Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan intrinsik anak didik.
-          Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktivitas pengajaran.
-          Tujuan pendidikan adlah spesifik dan langsung. Pendidikan harus tetap terjaga untuk tidak mengatakan yang berkaitan dangan tujuan umum dan tuuan akhir.
Tujuan pendidikan adalah kehidupan yang baik, yang dapat dimiliki oleh individu maupun masyarakat. Kehidupan yang baik merupakan pertumbuhan yang maksimu, yang dapat diukur oleh yang memiliki intelegensi yang baik. Perbuatan yang cerdas merupakan jaminan terbaik untuk melangsungkan pertumbuhan. 

3.  Proses Pendidikan
Menurut filsafat pragmatisme, pelajaran harus didasarkan atas fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya. Bahan pelajaran terdiri atas seperangkat tindakan untuk memberi isi kepada kehidupan sosial yang ada pada waktu itu. Dewey tidak setuju pad bahan pelajaran yang telah disampaikan terlebih dahulu. Karena realitas dihasilkan dari interaksi manusia dengan lingkungannya, maka anak harus mempelajari dunia seperi dunia mempengaruhinya, dimana ia hidup. Sekolah tidak dipisahkan dari kehidupan, seperti dikemukakan Bode : sekolah merupakan cara khusus untuk mengatur lingkungan, direncanakan, dan diorganisasikan.dengan sekolah kita dapat menolong anak yang dalam menciptakan kehidupan yang baik. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri bukan persiapan untuk suatu kehidupan.
Pragmatisme meyakini bahwa pikiran anak itu aktif dan kreatif, tidak secara pasif saja menerima apa yang diberikan gurunya. Pengetahuan dihasilkan dengan transaksi antara manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran adalah termasuk pengetahuan. Dalam situasi belajar, guru menyusun situasi-situasi belajar mengenai masalah utama yang dihadapi. Dalam menentukan kurikulum, setiap pelajaran tidak boleh terpisa, haruus merupakan satu kesatuan. Caranya adalah mengambil suatu masalah menjadi pusat segala kegiatan.
Metode yang sebaiknya digunakan dalam pendidikan adalh metede disiplin bukan dengan kekuasaan. Dengan cara demikian tidak mungkin anak akan mempunyai perhatian yang spontan atau minat langsung terhadap bahan pelajaran.
Disiplin merupakan kemauan dan minat yang keluar dari dalam diri anak sendiri. Anak akan belajar apabila ia memiliki minat dan antisipasi terhadap suatu masalah untuk dipelajari. Anak tidak akan memiliki dorongan untuk belajar matematika seandainya tidak meraskan suatu masalah dimana ia tidak mengetahuinya. Disiplin muncul dari dalam diri anak, namun dituntut suatu aktivitas dari anak yang lainnnya. Dalm usaha belajar tersebut dibutuhkan suatu kerjasama dengan yang lainnya.anak dalam kelas harus merupakan kelompok yang merasakan bersama terhadap suatu masalah dan bersama-sama memecahkan masalah tersebut, tak erlepas dari peran guru itu semua terjadi, karena guru merupan suatu petunjuk jalan serta pengamat tingkah laku anak, untuk mengetahui apa yang menjadi minat perhatian anak. Dengan begitu, guru dapat menentukan masalah yang akan dijadikan pusat perhatian anak.
Saran yang harus diperhatikan guru, dalm menghadapi siswa di kelas :
  •           Guru tidak memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan siswa.
  •               Guru harus menciptakan situasi yang menyebabkan siswa merasakan adanya suatu masalah yang ia hadapi, sehingga timbul minat masing-masing siswa.
  •                    Untuk membangkitkan minat anak, guru hendaknya mengenal kemampuan dan minat masing-masing siswa.
  •                   Guru dapat menciptakan situasi yang menimbulkan kerja sama dalam belajar.
Jadi guru bertugas sebagai fasilitator , memberi dorongan dan kemudahan kepada siswa, dengan begitu anak akan belajar sambil bekerja. Anak harus dibangkitkan kecerdasannya, agar pada diri anak timbul hasrat untuk menyelidiki secara teratur akhirnya dapat berpikir ilmiah dan logis.
Power pun mengemukakan implikasi filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan sebagai berikut :
1. Tujuan pendidikan
Memberi pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalm hidup sosial dan pribadi

 2. Kedudukan siswa
Suatu organisme yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan komplrks untuk tumbuh.

 3. Kurikulum
Berisi pengalaman yang teruji yang dapt diubah minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapt menentukakan kurikulum.

4.  Metode
Metode aktif, learning by doing.

5. Peran guru
Mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.

ALIRAN POSITIVISME

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
  1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
  2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subjektivisme.
  3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
 A.    Positivisme Logis
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggaris bawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
 B.     Auguste Comte
Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris. Masa pendidikannya di École Polytechnique dijalani selama dua tahun, antara 1814-1816. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam. Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekertaris, dan kemudian menjadi anak angkat, Henri de Saint-Simon, setelah comte diusir dan hidup dari mengajarkan matematika. Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian Saint-Simon pada 1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya pengaruh ini bahkan terlihat dalam kemiripan karir antara mereka berdua.
Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan. Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Tapi kehidupan akademisnya yang gagal menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul bukunya kita bisa melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.
Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Kebenaran diperoleh dengan akal, didukung bukti empiris yang terukur. ‘Terukur’ itulah sumbangan positivisme. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme dan rasionalisme.
Comte banyak mengikuti warisan pemikiran Hume dan Kant. Melalui tulisan dan pemikirannya, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Selanjutnya pada zaman metafisis kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Dan akhirnya pada masa positif manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio.
      Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus-menerus dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha kearah kepastian
4. Metode ini berusaha kearah kecermatan.

Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
 C.    Teori Positivisme
Dalam The Positive Philosophy, tujuanutama Comte adalah menelaah sejarah perkembangan ilmu serta menciptakan teori tentang tiga tahap perkembangan masyarakat. Ia membagi perkembangan masyarakat ilmiah menjadi tiga: tahap teologis, tahap metafisik dan tahap ‘ilmiah’ atau positif. Dalam penafsirannya,  penemuan ajaran Bacon, konsep Descrates dan pandangan Galileo ialah salah satu bentuk semangat perkembangan masyarakat positif dalam melawan sistem skolastik. Untuk itu Comte mengajukan sebuah cabang ilmu yang menurut dia, seharusnya memiliki keteraturan yang sama seperti ilmu alam, ia menyebutnya fisika sosial (Social Physics).
Alih-alih menelaah sifat manusia secara utuh, dalam karyanya Comte malah lebih banyak mengulas Matematika, Astronomi, Statistik, Geometri, Fisika dan Kimia. Konon, menurut Comte, hal itu dimaksudkan untuk mencari prasyarat bagi tahap-tahap menuju masyarakat positif. Di sini Comte cukup “sukses”. Kita sekarang telah dibingungkan oleh ajaran Comte yang sesat. Bagi Comte, masyarakat positif dikatakan dapat berhasil secara ilmiah ketika para ilmuwan telah meninggalkan sesuatu yang a priori. Metode yang paling tepat, menurut Comte, ialah pencarian hukum-hukum ilmu sosial melalui eksperimen. Baginya hanya metode eksperimenlah yang dapat mendekatkan kita pada objek observasional.
Prasyarat kedua, menurut Comte, dalam menuju masyarakat positif adalah dengan menggantikan pendidikan teologi, metafisika dan sastra dengan pendidikan filsafat positif. Comte mengartikan pendidikan positif sebagai ajaran yang mendidik masyarakat agar persepsinya dapat sesuai dengan objek faktual—dengan kata lain gagasan-gagasan abstrak serta fiksi seharusnya ditiadakan. Dengan demikian ajaran-ajaran teologis, metafisik dan sastra merupakan ajaran yang tidak sesuai dengan objek faktual. Jadi keberadaan mereka perlu digantikan dengan ilmu-ilmu alamiah, atau dengan kata lain hal-hal yang bukan fakta non-metafisis tidak bermakna apa-apa. Sekali lagi, di sini Comte mengalami kesuksesan. Dan sekarang sistem pendidikan kita melaksanakan dengan konsisten usulan ajaib dari Auguste Comte!
Ketiga, bagi Comte, masyarakat ilmiah dalam menelaah ilmu sedapat mungkin harus mampu mengombinasikan beberapa sudut pandang cabang ilmu. Baginya, kombinasi dalam berperspektif sangatlah penting.  Ia mencontohkan bahwa kimia seharusnya dipadukan dengan fisiologi—seperti kebodohan kita dalam mengubah manusia menjadi sekedar ilmu statistik atau melihat trend-trend saat ini munculnya kajian ekonomi perilaku, ekonomi fisika dsb. Kesalahan Comte di sini sangat fatal. Ia tidak menyadari bahwa setiap cabang ilmu itu terkait cara berfikir. Setiap disiplin ilmu memiliki logika formalnya sendiri-sendiri. Ada perbedaan antara yang ada dalam pikiran dengan kenyataan luar.
Terakhir, masih menurut Comte, untuk mengatasi krisis masyarakat, hanya pandangan filsafat positivisme-lah yang mampu mengatasi krisis sosial. Dengan filsafat positif anarkisme intelektual, yang biasanya melewati jalan rumit untuk diperdebatkan dalam mencari kebenaran, harus dilenyapkan. Pandangan ini jelas-jelas memberi jalan panjang bagi kematian karya-karya klasik. Bagi Comte, ide-ide masa lalu yang mengarah pada anarkis adalah musuh keteraturan masyarakat.  Anggapan tersebut jelas keliru. Musuh keteraturan bukanlah anarkisme intelektual tetapi imoralitas perilaku.

FILSAFAT MATERIALISME

Materialisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang pandangannya bertitik tolak dari pada materi (benda). Materialisme memandang bahwa benda itu primer sedangkan ide ditempatkan di sekundernya. Sebab materi ada terlebih dahulu baru ada ide. Pandangan ini berdasakan atas kenyataan menurut proses waktu dan zat.
Misal, menurut proses waktu, lama sebelum manusia yang mempunyai ide itu ada didunia, alam raya ini sudah ada.
Menurut zat, manusia tidak bisa berfikir atau mempunyai ide bila tidak mempunyai otak, otak itu adalah sebuah benda yang bisa dirasakan oleh panca indera kita. Otak atau materi ini yang lebih dulu ada baharu muncul ide dari padanya. Atau seperti kata Marx “Bukan fikiran yang menentukan pergaulan, melainkan keadaan pergaulan yang menentukan fikiran.” Maksudnya sifat/fikiran seorang individu itu ditentukan oleh keadaan masyarakat sekelilingnya, “masyarakat sekelilingnya” –ini menjadi materi atau sebab yang mendorong terciptanya fikiran dalam individu tersebut.
Aliran-aliran dalam materialisme
1. Materialisme Mekanik
Materialisme mekanik adalah aliran filsafat yang pandangannya materialis sedangkan metodenya mekanis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan gerak dan berubah, geraknya itu adalah gerakan yang mekanis artinya, gerak yang tetap selamanya atau gerak yang berulang-ulang (endless loop) seperti mesin yang tanpa perkembangan atau peningkatan secara kualitatif.
Materialisme mekanik tersistematis ketika ilmu tentang meknika mulai berkembang dengan pesat, tokoh-tokoh yang terkenal sebagai pengusung materialisme pada waktu itu ialah Demokritus (± 460-370 SM), Heraklitus (± 500 SM) kedua pemikir Yunanai ini berpendapat bahwa aktivitas psikik hanya merupakan gerakan atom-atom yang sangat lembut dan mudah bergerak.
Mulai abad ke-4 sebelum masehi pandangan materialisme primitif ini mulai menurun pengaruhnya digantikan dengan pandangan idealisme yang diusung oleh Plato dan Aristoteles. Sejak itu, ± 1700 tahun lamanya dunia filsafat dikuasai oleh filsafat idealisme.
Baru pada akhir jaman feodal, sekitar abad ke-17 ketika kaum borjuis sebagai klas baru dengan cara produksinya yang baru, materialisme mekanik muncul dalam bentuk yang lebih modern karena ilmu pengetahuan telah maju sedemikian pesatnya. Pada waktu itu ilmu materialisme ini menjadi senjata moril / idiologis bagi perjuangan klas borjuis melawan klas feodal yang masih berkuasa ketika itu. Perkembangan materialisme ini meluas dengan adanya revolusi industri, di negeri-negeri Eropa. Wakil-wakil dari filsafat materialis pada abad ke-17 adalah Thomas Hobbes(1588-1679 M), Benedictus Spinoza (1632-1677 M) dsb. Aliran filsafat materialisme mekanik mencapai titik puncaknya ketika terjadi Revolusi Perancis pada abad ke-18 yang diwakili oleh Paul de Holbach (1723-1789 M), Lamettrie (1709-1751 M) yang disebut juga materialisme Perancis.
Materialisme Perancis dengan tegas mengatakan materi adalah primer dan ide adalah sekunder, Holbach mengatakan : “materi adalah sesuatu yang selalu dengan cara-cara tertentu menyentuh panca indera kita, sedang sifat-sifat yang kita kenal dari bermacam hal-ichwal itu adalah hasil dari bermacam impresi atau berbagai macam perubahan yang terjadi di alam pikiran kita terhadap hal-ichwal itu”. Materialisme Perancis menyangkal pandangan religus tentang penciptann dunia (Demiurge), yang sebelum itu menguasai alam pikiran manusia.. Bahkan secara terang-terangan Holbach mengatakan “nampaknya agama itu diadakanhanya untuk memperbudak rakyat dan supaya mereka tunduk dibawah kekuasaan raja lalim. Asal manusia merasa dirinya didalam dunia ini sangat celaka, maka ada orang yang datang mengancam mereka dengan kemarahan Tuhan, memakasa mereka diam dan mengarahkan pandangan mereka kelangit, dengan demikian mereka tidak lagi dapat melihat sebab sesungguhnya daripada kemalangannnya itu”.
Materialisme Perancis adalah pandangan yang menganggap segala macam gerak atau gejala-gejala yang terjadi dialam itu dikuasai oleh gerakan mekanika, yaitu pergeseran tempat dan perubahan jumlah saja. Bahkan manusia dan segala aktivitetnya pun dipandang seperti mesin yang bergerak secara mekanik, ini tampak jelas sekali dalam karya Lamettrie yang berjudul “Manusia adalah mesin”. Mereka tidak melihat adanya peranan aktif dari ide atau pikiran terhadap materi. Pandangan ini adalah ciri dan sekaligus kelemahan materialisme Perancis.
2. Materialisme metafisik
Materialisme metafisik mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan diam, tetap atau statis selamanya seandainya materi itu berubah maka perubahan tersebut terjadi karena faktor luar atau kekuatan dari luar. Gerak materi itu disebut gerak ekstern atau gerak luar. selanjutnya materi itu dalam keadaan terpisah-pisah atau tidak mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya.
Materialisme metafisik diwakili oleh Ludwig Feurbach, pandangan materialisme ini mengakui bahwa adanya “ide absolut” pra-dunia dari Hegel , adanya terlebih dahulu “kategori-kategori logis” sebelum dunia ada, adalah tidak lain sisa-sisa khayalan dari kepercayaan tentang adanya pencipta diluar dunia; bahwa dunia materiil yang dapat dirasakan oleh panca indera kita adalah satu-satunya realitet.
Tetapi materialisme metafisik melihat segala sesuatu tidak secara keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, atau segala sesuatu itu berdiri sendiri. Dan segala sesuatu yang real itu tidak bergerak, diam.
Pandangan ini mengidamkan seorang manusia suci atau seorang resi suci yang penuh cinta kasih. Feurbach berusaha memindahkan agama lama yang menekankan hubungan manusia dengan Tuhan menjadi sebuah agama baru yaitu hubungan cinta kelamin antara manusia dengan manusia. Seperti kata Feurbach: “Tuhan adalah bayangan manusia dalam cermin”, Feurbach menentang teologi, dalam filsafatnya atau “agama baru”-nya Feurbach mengganti kedudukan Tuhan dengan manusia, pendeknya manusia itu Tuhan. Feurbach tidak melihat peran aktif dari ide dalam perkembangan materi, yang materi bagi Feurbach adalah misalnya, manusia (baca: materi, pen) sedangkan dunia dimana manusia itu tinggal tidak ada baginya, atau menganggap sepi ativitet yang dilakukan manusia/materi tersebut.
Materialisme metafisik menganggap kontradiksi sebagai hal yang irasionil bukan sebagai hal yang nyata, disinilah letak dari idealisme Feurbach. Pandangannya bertolak daripada materialisme tetapi metode penyelidikan yang dipakai ialah metafisis. Metode metafisis inilah yang menjadi kelemahan terbesar bagi materialisme Feurbach.
3. Materialisme dialektis
Materialisme dialektis adalah aliran filsafat yang bersandar pada matter (benda) dan metodenya dialektis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu mempunyai keterhubungan satu dengan lainnya, saling mempengaruhi, dan saling bergantung satu dengan lainnya. Gerak materi itu adalah gerakan yang dialektis yaitu pergerakan atau perubahan menuju bentuk yang lebih tinggi atau lebih maju seperti spiral. Tokoh-tokoh pencetus filsafat ini adalah Karl Marx (1818-1883 M), Friedrich Engels (1820-1895 M).
Gerakan materi itu adalah gerak intern, yaitu bergerak atau berubah karena dorongan dari faktor dalamnya (motive force-nya). Yang disebut “diam” itu hanya tampaknya atau bentuknya, sebab hakikat dari gejala yang tampaknya atau bentuknya “diam” itu isinya tetap gerak, jadi “diam” itu juga suatu bentuk gerak.
Metode yang dipakai adalah dialektika Hegel, Marx mengakui bahwa orang Yunani-lah yang pertama kali menemukan metode dialektika, tetapi Hegel-lah yang mensistematiskan metode tersebut. Tetapi oleh Marx dijungkir balikkan dengan bersandarkan materialisme. Marx dan temannya Engels mengambil materialisme Feurbach dan membuang metodenya yang metafisis sebagai dasar dari filsafatnya. Dan memakai dialektika sebagai metode dan membuang pandangan idealis Hegel.
Dialektika Hegel menentang dan menggulingkan metode metafisis yang selama beabad-abad menguasai lapangan filsafat. Hegel mengatakan “yang penting dalam filsafat adalah metode bukan kesimpulan-kesimpulan mengenai ini dan itu”. Ia menunjukkan kelemahan-kelemahan metafisika :
1. Kaum metafisis memandang sesuatu bukan dari keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, tetapi dipandangnya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, sedangkan Hegel memandang dunia sebagai badan kesatuan, segala sesuatu didalamnya terdapat saling hubungan organic.
2. Kaum metafisis melihat segala sesuatu tidak dari geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati dan tidak berubah-ubah, sedang Hegel melihat segala sesuatu dari perkembangannya, dan perkembangannya itu disebabkan kontradiksi internal, kaum metafisik berpendapat bahwa: “segala yang bertentangan adalah irasionil”. Mereka tidak tahu bahwa akal (reason) itu sendiri adalah pertentangan.
3. Sumbangan Hegel yang terpenting adalah kritiknya tentang evolusi vulgar, yang pada ketika itu sangat merajalela, dengan mengemukakan teorinya tentang “lompatan” (sprong) dalam proses perkembangan. Sebelum Hegel sudah banyak filsuf yang mengakui bahwa dunia ini berkembang, dan meninjau sesuatu dari proses perkembangannya, tetapi perkembangannya hanya terbatas pada perubahan yang berangsur-angsur (perubahan evolusioner) saja. Sedang Hegel berpendapat dalam proses perlembangan itu pertentangan intern makin mendalam dan meruncing dan pada suati tingkat tertentu perubahan berangsur-angsur terhenti dan terjadilah “lompatan”. Setelah “lompatan” itu terjadi, maka kwalitas sesuatu itu mengalami perubahan.
Akan tetapi dialektika Hegel ini diselimuti dengan kulit mistik, reaksioner, yaitu pandangan idealismenya sehingga dia memutar balikkan keadaan sebenarnya. Hukum tentang dialektika yaitu hukum tentang saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku didunia ini dipandangnya bukan seabagai suatu hal yang obyektif, yang primer melainkan perwujudan dari “ide absolut”. Kulitnya yang reaksioner inilah yang kemudian dibuang oleh Marx, dan isinya yang “rasionil” diambil serta ditempatkan pada kedudukan yang benar.
Sedangkan jembatan antara Marx dan Hegel adalah Feurbach, Materialisme dijadikan sebagai dasar filsafatnya tetapi Feurbach melihat gerak dari penjuru idealisme yang membuat ia berhenti dan membuang dialektika Hegel. Membuat hasil pemeriksaannya terpisah dan abstrak, Marx membuang metode metafisisnya, dan menggantinya dengan dialektika, sehingga menghasilkan sebuah system filsafat baru yang lebih kaya dan lebih sempurna dari pendahulunya.

Pancasila sebagai Filsafat

Pengertian Filasat

Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia : philo/philos/philen yang artinya cinta/pencinta/mencintai. Jadi filsafat adalah cinta akan kebijakan atau hakekat kebenaran. Berfilsafat artinya berfikir sedalam-dalamnya (merenung) terhadap suatu metodik, sistematis, menyeluruh, dan universal untuk mencari hakikat sesuatu.

Pengertian Filsafat menurut D. Runes :
Ilmu yang paling umum yang mengandung usaha untuk mencari kebijakan dan cinta akan kebijakan.
Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk, filsafat sebagai pandangan hidup dan filsafat dalam arti praktis. Hal ini berarti bahwa Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kehidupan berbangsa, bernegara bagi warga Negara Indonesia dimanapun mere berada.

Sistem Filsafat
Yang mendasari tokoh filsafat dalam melahirkan perbedaan-perbedaan mendasar antar ajaran filsafat adalah perbedaan latar belakang tata nilai dan alam kehidupan, cita-cita dan keyakinan. Perbedaan aliran bukan ditentukan oleh tempat dan waktu lahirnya filsafat, melainkan oleh watak isi dan nilai ajarannya.
Suatu ajaran filsafat yang bulat mengajarkan tentang sumber dan hakikat realitas, filsafat hidup, dan tata nilai 
(etika), termasuk teori terjadinya pengetahuan manusia dan logika.

Aliran-aliran Filsafat:

Aliran Materialisme
Mengajarkan bahwa hakekat realistas kesemestaan termasuk makhluk hidup dan manusia ialah materi. Semua realitas itu ditentukan oleh materi (misal benda ekonomi, makanan) dan terikat pada hukum alam yaitu sebab akibat (hukum kausalitas) yang bersifat obyektif.

Aliran Idealisme
Mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia yang menentukan hidup dan pengertian manusia, karena manusia mempunya akal budi, kesedaran rohani.

Aliran Realisme
Mengajarkan bahwa kehidupan yang tampak seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia, hidup berkembang biak, kemudia tua, akhirnya mati. Aliran ini bertentangan dengan aliran materialisme dan idealisme.
Nilai-Nilai Pancasila Berwujud dan Bersifat Filosofis.
Hakikat dan pokok-pokok yang terkandung dalam pancasila adalah :
1. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, berarti bahwa nilai-ilai yang terkandung dalam pancasila itu dijadikan tuntutan dan pegangan dalam mengatur sikap dan tingkat laku manusia indonesia dalam hubungannya dengan Tuhan, masyarakat dan alam semester
2. Pancasila sebagai dasar negara, berarti bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu dijadikan dasar dan pedoman dalam mengatur tata kehidupan bernegara seperti diatur dalam UUD 1945.
3. Filsafat pancasila yang abstrak tercermin dalam pembukaan UUD 1945
4. Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu kebulatan yang utuh.
5. kesatuan tafsir sila-sila pancasila harus bersumber dan berdasrkan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945
Oleh karena itu secara filosofis, dalam kehidupan bangsa Indonesia diakui bahwa nilai pancasila adalah pandangan hidup. Pancasila dijadikan sebagai pedoman bertingkah laku, dan berbuat dalam segala bdang kehidupan, meliputi bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan dan keamanan.

Pengertian Pancasila Secara Filsafat

Filsafat pancasila dapat diartikan sebagai refleksi kritis dan rasional tentang pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertian secara mendasar dan menyeluruh.

Pembahasan filsafat dapat dilakukan secara Deduktif yaitu dengan mencari hakikat pancasila serta menganalisis dan menyusunya secara sistematis menjadi keuutuhan pandangan yang komprehensif. Sedangkan secara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya dan menarik arti dan makna yang hakiki dari gejala-gejala itu.

Wawasan filsafat meliputi 3 bidang yaitu ontologi, epistemologi dan axiologi.
Ontologi
Menurut Runes adalah teori tentang keberadaan atau eksistensinya. Menurut Aristoteles adalah ilmu yang mempelajari hakikat sesuai atau disamakan artinya dengan metafisika.
Bidang ontologi meliputi :
Penyelidikan tentang keberadaan manusia, benda, alam semesta. Artinya ontologi adalah menjangkau adanya tuhan dan alam gaib seperti rohani dan kehidupan sesudah kematian (alam dibalik dunia, alam metafisika).
Jadi ontologi adalah bidang filsafat yang menyelidiki makna yang ada (eksitensi dan keberadaan) sumber ada, jenis ada, hahkiat ada, termasuk di dalamnya ada alam, manusia, metafisika, dan kesemestaan atau kosomologi.

Epistemologi
Menurut Runes adalah bidang atau filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, serta batas dan validitas ilmu pengetahuan.
Yang termasuk cabang episteomologi adalah Matematika, logika, dan sematik.

Axiologi
Menurut Runes berarti manfaat, pikiran, atau ilmu, teori. Dalam pengertian modern axiologi disamakan dengan teori nilai , yakni sesuai yang diinginkan, disukai atau yang baik dan juga yang menyelediki hakikat nilai, kriteria dan kedudukan metafisika sebagai suatu nilai.
Menurut Brameld, axiologi dapat disimpulkan :
1. Tingkah laku moral yang berwujud etika
2. ekspresi etika yang berujud estetika atau seni keindahan
3. sosio politik
Jadi axiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki makna nilai, sumber nilai, jenis dan tingkatan nilai dan hakikat nilai.
Nilai-Nilai Pancasila Menjadi Dasar Dan Arah Keseimbangan Antara Hak Dan Kewajiban Asasi Manusia.
Nilai-nilai dari sila-sila pancasila terkandung beberapa hubungan manusia yang melahirkan keseimbangan antara hak dan kewajiban yaitu ;

Hubungan vertikal. Hubungan manusia dengan Tuhan YME sebagai penjelmaan dari nilai ketuhanan yang maha esa. Dalam hubungan ini manusia mempunyai kewajiban untuk melaksanakan perintahnya dan menjauhi laranganya.

Hubungan Horizontal. Hubungan manusia dengan sesamanya baik dalam fungsinya sebagai warga masyarakat, warga bangsa, dan warga negara.
Hubungan Alamiah. Hubungan manusia dengan alam sekitar yang meliputi hewan, tumbuhan dan alam dengan segala kekayaannya.
Alasan yang prinsipil pancasila sebagai pandangan hidup dengan fungsinya tersebut di atas adalah :
1. Pancasila mengakui adanya kekuatan gaib yang di luar manusia menjadi pencipta, pengatur serta penguasa alam semesta
2. Mengatur keseimbangan dalam hubungan dan keserasian-keserasian dimana untuk menciptakannya perlu pengendalian diri
3. Dalam mengatur hubungan, peranan dan kedudukan bangsa sangat penting.
4. Kekeluargaan dan gotong royong, kebersamaan serta musyarawah untuk mufakat dijadikan sendi kehidupan
5. Kesejahteraan menjadi tujuan hidup bersama

Isi pemikiran filsafat pancasila sebagai suatu filsafat tentang negara adalah bahwa pancasila memberi jawaban yang mendasar dan menyeluruh atas masalah-masalah asasi :

1. Masalah pertama : Apa negera itu ? dijawab dengan prinsip kebangsaan indonesia
2. Masalah kedua : Bagaimana hubungan antara bangsa dan negara ? dijawab dengan prinsip perikemanusiaan
3. Masalah ketiga: siapakah sumber dan pemegang kekuasaan negara ? dijawab dengan prinsip demokasi
4. Masalah keempat : Apa tujuan negara ? dijawab dengan prinsip negara kesejahteraan
5. Masalah kelima : bagaimana hubungan antara agama dan negara ? dijawab dengan prinsip Ketuhanan yang maha esa.