Sabtu, 24 Desember 2016

Catatan Awal Tentang Filsafat Ilmu Modern



Catatan Awal Tentang Filsafat Ilmu Modern


“Sesungguhnya ilmu tidak memikirkan tentang esensi dirinya”
(Martin Heidegger)

“Ilmu” adalah fenomena terbesar yang paling mewakili wujud kemanusiaan. Perkembangannya begitu cepat-dan terusmenerus mengalami percepatan-dan menakjubkan. Bisa dikatakan, saat ini “ilmu” merupakan ikon keberadaban. Siapapun yang tidak berilmu (=tidak menguasai ilmu) identik dengan keprimitifan dan keterbelakangan. Tidak mengherankan kalau semua unsur kemanusiaan (pribadi, kelompok primordial dan negara) berusaha intensif untuk “memilikinya”. Dengan demikian, penguasaan dan transformasi ilmu menjadi kemusykilan mendasar. Dalam tingkatan yang lebih rendah—menurut sebagian pihak—, persoalan selanjutnya adalah: bagaimana supaya ilmu tersebut membawa kemaslahatan yang sebesar-besarnya. Tentunya, makna kemaslahatan di sini sangat variatif, bergantung kepada background dan orientasi kebudayaannya.



“Ketika mempelajari sebuah ilmu, bersiaplah untuk memaafkan ilmu tersebut,” demikian ungkapan bijak dari seorang filsuf Perancis. Memang, ilmu bukanlah segalanya. Ilmu tak lebih dari alat yang, sebagaimana diketahui, tidak mampu memikirkan dan mengontrol dirinya sendiri. Ia membutuhkan “yang lain”, dalam hal ini adalah filsafat. Hingga lahirlah cabang filsafat baru: Filsafat Ilmu. Dengan demikian, Filsafat Ilmu merupakan satu-satunya mediun resmi untuk memperbincangkan ilmu. Filsafat ilmu adalah cabang filsafat. Dalam kaitannya dengan ilmu, ia tak lebih dari model pandang atau perspektif filosofis terhadap ilmu. Karena itu, ia tidak menawarkan materi-materi ilmiyah, tapi sekedar tinjauan filsofis mengenai pengetahuan yang dicapai oleh suatu ilmu. Sesuai dengan tabiat kemanusiaan dan sesuai pula dengan yang terjadi pada induknya, seperti yang telah disinggung di atas, filsafat ilmu terpecah ke dalam beberapa aliran, seperti Positivisme, Marxisme, Naturalisme, Pragmatisme dan seterusnya.

Tulisan berikut tidak bermaksud untuk mengupas aliran-aliran filsafat ilmu secara lebih lanjut. Melainkan sekedar mencukupkan diri dengan pembahasan singkat tentang definisi, ruang lingkup dan kaitannya dengan sejarah ilmu.


Logikanya, hampir mustahil filsafat bisa dipisahkan dari ilmu. Selama ilmu masih memerlukan pemikiran dan pengamatan-karena itu memerlukan teori-untuk memahami obyeknya. Dan selam ailmu itu masih memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, selama itu pula filsafat ilmu diperlukan untuk memahami esensi suatu ilmu. Karena ilmu memang tidak mampu memikirkan dirinya sendiri.

Satu catatan penting yang harus diingat: filsafat ilmu tidak akan pernah bisa bersikap netral, karena ia adalah bagian yang integral dari arus besar filsafat. Dan filsafat sebagai kumpulan cara pandang atau perspektif seseorang, bagaimanapun, terpengaruh oleh faktor-faktor internal yang ada dalam diri subyeknya. (Di sinilah pentingnya memberikan nilai-nilai yang sesuai dengan perspektif Islam, katakanlah: untuk melahirkan Filsafat Ilmu yang islami, [pen.]).
Filsafat ilmu itu sendiri baru dipelajari secara akademis, terpisah dari teori pengetahuan secara umum, dimulai sejak paruh pertama abad ke-19 M. Dan pada awal abad ini, ilmu mengalami perkembangan yang amat pesat. Dominasi Fisika Newton dihancurkan, determinisme ditolak dan diganti dengan indetermenisme.


Berbicara tentang filsafat ilmu dalam tradisi Islam-Arab, terdapat disensus dalam pemaknaan istilah filsafat ilmu. Cakupan “ilmu” pun berbeda. Mulai dari sebatas ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu yang bersifat mistik dan dalam fase selanjutnya lazim digunakan untuk ilmu alam semata.

Sebagian kalangan memberikan makna yang sinonim antara filsafat ilmu dan epistemologi. Ada juga pihak lain lagi yang menggunakan terma nazharîyât al-ma’rifah dan atau al-ma’rifah al-‘ilmîyah.
Antara tradisi Anglo-Saxon dan Perancis juga ada perbedaan. Tradisi yang pertama memahaminya secara lebih umum. Berbeda dengan tradisi Perancis yang memahaminya dalam makna yang sempit: filsafat ilmu (atau epistemologi) bukanlah ilmu yang mempelajari tentang metode ilmiyah dan bukan pula sintesa-sintesa untuk merumuskan hukum-hukum ilmiyah-sebagaimana yang dianut oleh para filsuf Anglo-Saxon-, melainkan studi kritis terhadap pondasi-pondasi ilmu yang beranekaragam, mengenai hipotesa-hipotesa, hasil-hasil dan nilai-nilainya.

Menurut Muhammad ‘Abid Al-Jâbirî, filsafat ilmu adalah sebuah terma yang masih samar; ia mencakup seluruh usaha oleh pikir dalam ilmu, ataupun dimensi dalam beberapa dimensi yang ada, ataupun prinsip-prinsip, hipotesa dan hukum, hasil-hasil filosofisnya, dan maupun nilai-nilai logika dan etika.
Dimensi filsafat dapat masuk ke dalam ilmu melalui empat jalur:
  1. Perumusan relasi antara ilmu, alam dan masyarakat;
  2. Reposisi ilmu secara spesifik dalam sistem nilai kemanusiaan global;
  3. Upaya untuk memahami alam secara lebih filosofis berdasarkan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan;
  4. Analisa logis terhadap bahasa ilmiyah.


Filsafat ilmu membahas tentang ilmu dari sudut epistemologi, aksiologi dan ontologi.
  1. Epistemologi berkenaan dengan teori pengetahuan, yang berpijak pada tiga landasan poko, yaitu: pertama, probabilitas ilmu (mungkinkah manusia mencapai kebenaran hakiki melalui ilmu?), kedua, corak relasi antara subyek dan obyek (apakah obyek merupakan realitas yang berada di luar diri subyek dan terlepas dari persepsinya, ataukah ia tidak lebih dari hasil bentukan subyek semata?), ketiga, berkenaan dengan sarana atau sumber pengetahuan (apakah itu akal? Atau Indera? Atau intuisi?);
  2. Aksiologi berkenaan dengan teori nilai dalam filsafat, yang mencakup persoalan kebenaran (logika), kebaikan (etika) dan keindahan (estetika);
  3. Ontologi berkenaan dengan eksistensi, ataupun implikasi-implikasi filosofis dari konsep-konsep ilmiyah, seperti tentang materi, energi, gelombang, dll, untuk kemudian disusun teori-teori mengenai kemungkinan terciptanya alam. Maka kebenaran yang dihasilkannya sekalipun adalah kebenaran filosofis, bukan kebenaran ilmiyah.


Selain tiga unsur di atas, filsafat ilmu juga memerlukan sejarah ilmu sebagai pelengkap. Hubungan keduanya bersifat komplementer, sehingga memungkinkan terjadinya pemahaman yang lebih komprehensif; pemahaman dari luar dan dari dalam. Pemahaman dari dalam berangkat dari sejarah ilmu, sebagai akumulasi dari pengalaman hakiki manusia dalam berinteraksi dengan alam. Sementara pemahaman dari luar berupa tinjauan filosofi yang lebih dalam, luas dan radikal.

Sejarah ilmu adalah sejarah akal manusia: interaksi antara akal tersebut dengan pengalaman-pengalaman empirik dan data-data yang terindera. Ia adalah sejara yang berkenaan dengan perkembangan ilmu dari segala dimensinya. Ia bukanlah sejarah tentang jatuhbangunnya kekuasaan, tentang peperangan ataupun perdamaian. Hakikatnya, ia adalah sejarah inti dari peradaban manusia.
Dalam perkembangannya, ilmu agak kurang berpaling kepada masa lalu, ia lebih sering melihat ke depan. Dan hubungannya, tidak jarangm bersifat negatif, dalam artian cenderung menegasikan masa lalu. Atau, paling banter sekedar akumulasi. Amat berbeda dengan filsafat ilmu yang amat tergantung kepada sejarah ilmu.

Selama ilmu masih memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, selama itu pula sejarah ilmu diperlukan dengan tinjauan yang bersifat filosofis. Dalam kaitannya dengan filsafat ilmu, sejarah ilmu dapat diibaratkan sebagai epistemological laboratory. Imre Lakatos menulis: “Filsafat ilmu tanpa sejarah ilmu adalah hampa, dan sejarah ilmu tanpa filsafatnya adalah buta”.
Di antara tokoh penting yang menulis tentang sejarah ilmu adalah George Sarton1, seorang berkebangsaan Belgia yang bermukim di Amerika Serikat, dan J.G. Crowther2, seorang pemikir dari Inggris.



Filsafat ilmu yang menghegemoni dalam sebuah peradaban mempengaruhi pola pandang dan pola berperilaku subyeknya terhadap ilmu itu, nilai-nilai dan selanjutnya pola pendayagunaan ilmu tersebut. Dan bila dirujukkan kepada dataran realitas, dalam perkembangannya ilmu-ilmu modern ternyata menjurus kepada sesuatu yang dinamakan sebagai “tindak kriminal saintis”. Ilmu ternyata membawa kepada mekanisasi dan selanjutnya anti kepada nilai-nilai humanisme yang luhur. Ilmu menjadi alat pengangkangan manusia terhadap manusia.

Sementara para ilmuwan pada akhirnya menjadi alat yang menjalankan tugas yang dibebankan oleh kekuasaan sosial, politik dan ekonomi yang terstruktur, untuk menerima “gaji” sepeser dua peser. Ia menjadi asing, teralienasi, dari nilai-nilainya sebagai manusia dan tidak peka lagi terhadap tanggungjawab kemanusiaannya. Dan secara pribadi, ilmuwan tersebut juga hidup dalam kekeringan spiritual.
Inilah beberapa catatan mendasar yang membuat kita perlu berupaya mencari alternatif konseptual yang lain lain.

Catatan Kaki:
  1. Karyanya A History of Science (Harvard University Press, 1952) dianggap sebagai salah satu karya paling otoritatif dalam sejarah ilmu. Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Târîkh Al-‘Ilm.
  2. Karyanya A Short History of Science memuat sejarah ilmu sejak kemunculannya hingga era ruang angkasa di abad ke-20. Terbit pertama kali di London. Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Yumnâ Tharîf Al-Khûlî dan Badawî ‘Abd Al-Fattâh dengan judul Qishshâh Al-‘Ilm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar