Rabu, 28 Desember 2016

FILOSOFI BAHASA INDONESIA


PERENUNGAN MAKNA KATA "MENOLONG"
 
Seorang teman saya mengeluh karena setelah menolong sahabatnya ternyata orang yang ditolong menjadi tergantung pada diri si penolong. Hal ini diperparah dengan kesan bahwa sahabatnya tidak menyadari jikalau teman saya pun memiliki masalah-masalah tersendiri. Padahal jika mau jujur, menurut teman saya itu, sahabatnya tidak mengalami keterbatasan-keterbatasan yang mendasar hinnga menyebabkan dirinya tidak mampu berdiri sendiri. Rupanya sahabat teman saya itu begitu bergantungnya hingga cukup merepotkan sang penolong. Yang harus dicatat di sini ialah bahwa teman saya ini seorang yang baik hati, mungkin karena terlalu baik kadang-kadang ia lupa untuk harus bisa mengatakan ‘tidak’ dalam arti yang positif.

Mengapa demikian? Terlalu sering mengatakan ‘ya’ dan berat untuk mengatakan ‘tidak’ adalah merupakan hal umum terjadi di dalam diri para penolong. Mengatakan ‘tidak’ seakan-akan merupakan suatu hal yang tabu, karena ‘tidak mau menolong’ seringkali diamini sebagai sifat tidak berperikemanusiaan, tidak setia kawan, dan hal-hal negatif lainnya. Ketika dimintai pendapat, saya mencoba mengajak teman saya untuk “sanggup berkata tidak” sebagai bagian dari penyaluran rasa peri-kemanusiaan dan lain sebagainya. Merenungkan makna ‘menolong’ ternyata merupakan alternatif yang baik untuk membantu berkata ‘tidak’ dengan dilandasi oleh pertimbangan positif.

Hal pertama yang harus dilakukan ialah menyadari bahwa ‘menolong seseorang’ berarti kita ‘berbagi’/’share’. Saya tidak ingin menggunakan kata ‘mengorbankan’/’sacrifice’, karena lagi-lagi akan dirasakan sebagai keterpaksaan. Apabila terpaksa maka yang diberikan bukanlah pertolongan, karena ada motif atau alasan tertentu di balik semua itu, seperti misalnya: berada di bawah tekanan, pertimbangan pahala atau pamrih, investasi, dan sebagainya. Berbagi berarti kita memberikan sesuatu dari diri kita, baik yang lebih ataupun yang kurang, untuk digunakan oleh orang lain. Disebutkan sebagai membantu oleh karena kalaupun kita tidak membantu maka tidak akan mendatangkan kerugian bagi kita. Jikalau tindakan berbagi tidak kita ambil, dan pada akhirnya merugikan kita, maka alasan tindakan tersebut tidak bisa dimasukkan lagi ke dalam konteks ‘menolong.’

Yang kedua, menolong yang benar adalah menolong yang tidak bersifat destruktif. Sifat merugikan ini tidak saja dialami oleh sang penolong tetapi juga pada diri orang yang ditolongnya. Tentu kita sudah akrab dengan ungkapan “jangan memberikan ikan namun berikanlah kailnya.” Ternyata tidak sesederhana ini sajalah ungkapan tersebut dapat diterjemahkan. Perasaan teman saya di bagian awal tulisan ini dapat digolongkan sebagai perwujudan dari tindakan menolong yang tidak sempurna. Mengapa demikian? Bukan berarti saya ingin mengatakan bahwa dia memiliki alasan lain atau ingin mendapatkan manfaat dari tindakannya, bukan itu, tetapi rupanya tindakannya malah berbalik membawa akibat destruktif terhadap dirinya maupun orang yang ditolong. Di satu sisi ia merasa tidak diperhatikan dan di sisi lain sang pemohon menjadi bergantung serta terkesan mementingkan diri sendiri.

Singkatnya, konsep menolong orang yang sebenarnya masih dapat melakukan banyak hal sendiri namun memiliki ketergantungan yang kuat adalah merupakan suatu problem serius. Teman saya tidak merasa sejahtera di hatinya, dan sahabatnya pun akhirnya menjadi sangat tergantung dan seakan tidak peduli pada orang lain dengan berfokus hanya pada diri sendiri saja.

Kedua hal di atas harus dipahami dahulu sebelum kita merenungkan kandungan kekayaan makna kata ‘menolong’ yang ternyata tergolong dalam tiga kelompok umum. Ketiga kelompok ‘menolong’ tersebut ialah:
  1. help you / (saya) menolong anda
  2. help me to help you / bantulah saya agar (dapat) menolong anda
  3. help me to help you helping yourself / bantulah saya agar saya bisa menolong anda untuk menolong diri anda sendiri
Help you
Konsep ini sebenarnya merupakan konsep umum dalam menolong seseorang. Tanpa tedeng aling-aling saya dapat saja membantu seseorang yang datang kepada saya. Orang yang berkonsep seperti ini tidak memerlukan penjelasan atau alasan mengapa harus menolong. Begitu diminta langsung siap membantu. Bahwa ternyata bantuan tersebut dapat berakibat negatif terhadap kedua belah pihak bukanlah merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan. Solidaritas, rasa cinta yang mendalam, hutang budi, dan lain sebagainya dapat saja menjadi latar belakang kenapa yang bersangkutan langsung membantu ketika diminta. Apabila di kemudian hari ternyata muncul masalah baru maka itu merupakan persoalan kemudian, yang bukan merupakan pertimbangan saat ini.

Help me to help you
Konsep ini boleh dibilang cukup penuh pertimbangan. Untuk bisa memberikan bantuan, saya harus memahami dulu mengapa yang bersangkutan memerlukan bantuan saya. Apabila saya telah memahami persoalannya, dan jika saya merasa bahwa orang tersebut perlu dibantu maka saya tidak akan ragu untuk menolong. Dalam tahapan pertimbangan inilah proses penilaian terhadap apa yang harus dilakukan dan yang bisa dibagikan telah dilakukan. Rasa-rasanya, orang-orang yang baik dan tulus hatinya akan bersetuju dengan saya apabila saya mengatakan bahwa ‘memahami’ duduk persoalan sebenarnya telah menyebabkan bantuan yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan.Yang menjadi persoalan ialah bahwa apakah bantuan atau pertolongan yang kita berikan telah tepat sasaran? Bagaimanakah apabila ternyata permohonan ini berulang terus sementara sebenarnya yang meminta pertolongan kita masih dapat didorong untuk berdiri sendiri?

Help me to help you helping yourself
Pertanyaan-pertanyaan di bagian terakhir konsep kedua di atas itulah yang menyebabkan perlunya kita menyadari bahwa ‘sebuah langkah baru harus diambil untuk mencegah gejala ‘gagal mandiri’ tersebut berlanjut. “Membantu yang membangun” benar-benar merupakan dasar dari konsep ketiga ini. Memahami masalah yang sedang dihadapi sang pemohon pertolongan, kemudian membantu yang bersangkutan agar kebutuhan jangka pendeknya terpenuhi, harus dibarengi dengan upaya penanganan masalah jangka panjangnya yang adalah kemandirian. Di sinilah rupanya memberikan ikan bukan merupakan tindakan bijak. Walaupun yang bersangkutan meminta ikan, namun kita yang telah memahami persoalan tersebut melihat bahwa di kemudian hari rasa lapar tersebut akan tetap ada maka kita harus bisa berupaya memberikan kailnya.

Hasil akhir dari sebuah bantuan atau pertolongan adalah terpecahkan masalah yang ada. Ikan memang harus dapat ditangkap untuk dikonsumsi. Akan tetapi menjadi nelayan rutin terhadap orang lain yang juga berbakat dan sebenarnya mampu menjadi penangkap ikan adalah tindakan yang merusak orang tersebut. Orang yang ditolong akan semakin gagal melihat bahwa dirinya pun mampu mandiri. Dalam konteks inilah dipandang layak apabila suatu saat kita berkata ‘tidak’ terhadap permohonan oleh karena kita menghindari terjadinya kegagalan menuju kemandirian.

Seringkali terjadi orang yang meminta pertolongan adalah orang yang merasa bahwa dia tidak mampu mengatasi persoalannya sendiri. Memohon pertolongan dipandang perlu ketika tercipta ketidakberdayaan. Namun yang harus disadari, yang dimintakan adalah bantuan, pertolongan, dan bukannya ‘pendukunan’ atau penyulapan. Dalam situasi terjepit adalah wajar apabila lepas dari penderitaan merupakan fokus diri. Seringkali fokus tersebut mengaburkan diri seseorang terhadap kenyataan bahwa yang bersangkutan memiliki bakat dan keunggulan tersendiri. Saat kita terus menerus siap sedia kapanpun dan di manapun maka, sebagai penolong yang tidak sedang terjepit, kita harus mampu memaknai pertolongan tersebut.

Sekali lagi, ketergantungan adalah wajar apabila yang meminta pertolongan memang memiliki (maaf) keterbatasan fisik, psikologis, atau situasional permanen. Namun seperti kasus teman saya di atas, sahabatnya bukan tergolong dalam kelompok ini. Apabila ini yang dihadapi maka terus mengatakan ‘ya’ akan menimbulkan persoalan.

Memaknai arti kata dapat membantu kita di dalam mengambil tindakan. Sediakanlah waktu bagi diri anda yang sangat tulus dan baik hati untuk mengartikan berbagai macam aspek kebahasaan. Sehingga nantinya praktek atau tindakan yang diambil benar-benar menjadi cerminan pertimbangan yang membangun sesama. Bukankah bahasa adalah alat untuk mewujudkan pemikiran dan penilaian kita terhadap persoalan kita maupun sesama? Let Wisdom Guide.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar