Sabtu, 24 Desember 2016

Filsafat Alam dalam Ilmu Kalâm

Filsafat Alam dalam Ilmu Kalâm

(Dari Masa Lalu Menuju Masa Depan)



Pendahuluan
Filsafat alam (Philosophy of Nature/Al-Falsafah Al-Thabî‘ìyah/Falsafah Al-Thabî‘ah/Al-Thabî‘îyât) adalah filsafat yang berusaha untuk menjelaskan kejadian alam, sifat-sifatnya dan hukum-hukumnya secara teoritis dan menyeluruh.

Pada masa lalu filsafat alam tidak dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu eksakta. Filsafat alam adalah ilmu-ilmu eksakta itu sendiri bagi orang Yunani, atau dia adalah ilmu alam yang menjadi lawan dari etika, metafisika dan estetika. Pada masa itu  filsafat alam mencakup isi buku-buku yang dikarang oleh Aristoteles (384-322 SM) seperti: Al-Simâ‘ Al-Thabî‘î yang berbicara tentang gerak, waktu dan tempat; Al-Nafs yang membahas tentang kehidupan dengan berbagai bentuknya; Al-Kawn wa Al-Fasâd yang berisi tentang kejadian benda dan kehancurannya; dan Al-Hayawân yang memuat studi ilmiah tetang binatang. Selain itu filsafat alam juga mencakup Holyzoisme, yaitu teori yang memandang bahwa alam semesta adalah sesuatu yang hidup dan berakal.

Filsafat alam yang dimiliki oleh bangsa Yunani ini kemudian berpindah ke Arab dan Barat dengan pengertian yang tak jauh berbeda. Bahkan sampai abad XVIII yang dimaksud dengan filsafat alam di Barat tak lain adalah ilmu-ilmu eksakta. Baru pada perkembangan terakhir—di saat cabang-cabang ilmu menemukan kemerdekaan dan melepaskan diri dari induknya (filsafat)—dapat dipisahkan antara ilmu-ilmu eksakta dan filsafat alam.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat alam (dengan pengertian klasik) adalah cikal bakal bagi lahirnya ilmu-ilmu eksakta modern. “Filsafat alam adalah ‘al-salaf al-târîkhî al-mubâsyir (preseden historis langsung)’, dan dalam waktu yang bersamaan adalah akar yang sangat kuat—dalam bangunan peradaban—bagi ilmu-ilmu eksakta yang saat ini menempati posisi yang paling strategis dalam bangunan ilmu modern.”
****
Salah satu pertanyaan yang saat ini banyak menyibukkan para peneliti—baik di Barat maupun di Timur—adalah ‘apakah yang melatarbelakangi gagalnya peradaban Arab (dan Cina) dalam melahirkan ilmu pengetahuan, sementara Barat yang mengalami keterlambatan yang sangat lama dalam hal ini justru mampu menjadikan dirinya sebagai kiblat perkembangan sains dan teknologi?’
Peradaban Arab sebenarnya telah lebih dulu mengenal berbagai cabang ilmu, seperti matematika, astronomi dan kedokteran sampai abad XIII, di saat Barat masih tenggelam dalam kebodohan. Hanya saja kemajuan dalam beberapa bidang ilmu ini tiba-tiba terhenti, untuk kemudian diambil alih oleh Barat. Dalam bidang astronomi misalnya, para astronom Arab—yang dipelopori oleh Ibnu Syâthir—sejak abad XI sampai abad XIV telah melakukan berbagai macam penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki astoronomi Ptolemy yang didirikan atas dasar geosentris. Hanya saja Ibn Syâthir dan astronom-astronom Arab yang datang setelahnya gagal dalam mengembangkan astronomi dengan asas heliosentris, sebuah pekerjaan yang berhasil digarap dengan apik oleh Copernicus yang datang satu setengah abad setelah Ibnu Syâthir. Penyebab utama kegagalan Ibnu Syâthir dan kawan-kawannya ini, menurut Toby E. Huff, adalah karena para astronom Arab tersebut tidak mendapatkan ruh yang mampu menjadikan mereka berani untuk keluar dari pandangan umum agama—yang berkembang pada saat itu—terhadap hukum-hukum yang mengatur alam.

Kalau pendapat E. Huff di atas benar, maka dapat disimpulkan bahwa gagalnya bangsa Arab Islam dalam mengembangkan sains tidak dapat dilepaskan dari keyakinan-keyakinan agama yang mereka miliki. Ilmu Kalâm dalam hal ini memegang peranan yang sangat penting, karena dia adalah ilmu yang lahir dan berkembang sebelum abad terjemah, sehingga memiliki akar yang sangat kuat dalam peradaban Islam. Ilmu Kalâm merupakan usaha pertama yang dilakukan oleh umat Islam dalam memahami dan menjelaskan teks-teks agama dengan menggunakan akal. Dan lebih dari itu ilmu Kalâm adalah ideologi bagi umat Islam yang menggambarkan keyakinan-keyakinan yang dimilikinya dan menjadikannya sebagai umat yang mempunyai kepribadian tersendiri. Sementara filsafat Islam (Al-Hikmah)—meskipun banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani—tak lain adalah perpanjangan dari Kalâm.

Alam Dalam Pandangan Kalâm Klasik
Berbeda dengan anggapan umum yang selama ini berkembang, filsafat alam memakan porsi yang cukup besar dalam pembahasan ilmu Kalâm, walapun dia bukanlah merupakan permasalahan terbesar dan tema terpenting dalam buku-buku Kalâm.

Menurut mutakallimîn (pakar ilmu Kalâm), alam adalah segala yang ada selain Tuhan atau ‘Al-Lathâ’if” (=kosmos) atau “‘Âlam Al-Syahâdah” (=alam yang terindera)  atau dengan bahasa modern: alam fisika. Ada dua cara yang dapat kita gunakan untuk membahas ilmu Kalâm: pertama, dengan mengkaji golongan-golongannya; dan kedua, dengan mengkaji materi-materinya. Dengan cara terakhir, kita dapatkan bahwa materi ilmu Kalâm ada enam, yaitu: al-Tawhîd (masalah keesaan Allah), al-Qadr (masalah ketentuan/takdir), al-Îmân (masalah keimanan), al-Wa‘îd (masalah ancaman bagi pelaku dosa) dan al-Imâmah (masalah kepemimpinan umat).

Kalau diklasifikasikan, Al-Lathâ’if Al-Ilâhîyah (=materi yang berkenaan dengan theologi) mencakup al-Tawhîd dan al-Qadr; Al-Sam‘îyât mencakup al-Îmân, al-Wa‘îd dan al-Imâmah; sedangkan Al-Lathâ’if membahas tentang al-Mâdah (materi), Al-Jism (organ), gerak, waktu dan tempat, atau materi-materi alam fisika. Oleh karena itulah Al-Lathâ’if dalam Kalâm dikenal sebagai “Daqîq Al-Kalâm” (materi ilmu yang bersifat rumit) yang merupakan lahan bagi akal semata, dan merupakan kebalikan dari “Jalîl Al-Kalâm (materi ilmu y ang bersifat sakral) atau keyakinan-keyakinan yang hanya bisa diketahui dari kitab Allah.

Atas dasar di atas, para teolog Islam banyak menyibukkan diri dalam Al-Lathâ’if, dan ini merupakan awal dari persentuhan akal Islam dengan alam fisika. Tumbuhnya pemikiran ilmiah di antara pemikiran agama ini menjadikan peradaban Islam berbeda dengan peradaban Barat. Dalam Islam gerakan berpikir ilmiah sama sekali tidak bertentangan dengan agama, bahkan semua itu berada di bawah naungan agama. Inilah yang memberi kesempatan bagi para ilmuwan Islam pada masanya untuk dapat memberi sumbangan bagi perkembangan sains pada abad pertengahan di saat Barat masih tenggelam dalam kegelapan. Namun, gerakan ilmiah itu kemudian terhenti karena begitu mendominasinya pemikiran agama. Dan inilah yang akan kita bicarakan pada paragraf-paragraf berikut.
****
Alam fisika di tangan mutakallimîn telah berubah menjadi Al-Jawâhir (inti-inti substansial) dan Al-A‘râdh (aksiden-aksiden yang terjadi pada organ inti), yang diambil dari teori atom klasik. Kemudian Al-Jawâhir dan Al-A‘râdh berubah menjadi ontologi ilmu Kalâm atau dasar pandangan mutakallimîn terhadap alam. Dengan cara mereka, para mutakallimîn menetapkan bahwa alam itu berubah-ubah karena perubahan yang terjadi pada Al-A‘râdh. Oleh karena itulah alam ini  “Hâdits” (baharu) atau dia adalah ciptaan Allah.

Dalîl Al-Hudûts (argumentasi tentang kebaharuan) atau keberadaan alam yang “Hâdits” sebagai bukti keberadaan Allah yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui bukan saja merupakan sesuatu yang disepakati oleh para teolog Islam, tapi juga umat Islam semuanya. Oleh karena itu, alam bagi mutakallimîn tak lebih dari tanda keberadaan sesuatu yang ada di balik alam itu, yaitu Tuhan. Dan ini sesuai dengan makna akar kata alam yang terambil dari kata “‘Alam” yang berarti tanda yang menunjukkan keberadaan pemilik tanda tersebut.

Permasalahan utama yang dihadapi oleh para teolog Islam adalah hubungan antara Allah dengan alam. Allah adalah Pencipta alam, menjadikannya ada dari tidak ada. Inilah yang terpenting yang terdapat dalam Dalîl Al-Hudûts. Dari sini kita melihat bahwa Dalîl Al-Hudûts pada dasarnya adalah Qiyâs Al-Ghâib ‘alâ Al-Syâhid (sillogisme ontologis antara sesuatu yang tidak terlihat dengan sesuatu yang bisa terindera), dan ini sebenarnya adalah salah satu bentuk dari cara berpikir ilmiah empiris.
Inilah yang menyebabkan mutakallimîn pada periode awal begitu memperhatikan materi-materi ilmu fisika. Hanya saja di sisi lain Dalîl Al-Hudûts itu sendirilah yang menjadikan pembahasan terhadap alam dalam ilmu Kalâm terjebak dalam lingkaran tertutup, yang pada gilirannya mengakibatkan terpisahnya ilmu Kalâm dari pembahasan terhadap alam. Pemikiran agamalah yang selanjutnya kembali mendominasi. Sementara pemikiran ilmiah yang baru tumbuh ibarat janin yang digugurkan secara terpaksa.

Lingkaran tertutup dalam Dalîl Al-Hudûts itu disebabkan karena alam bagi mutakallimîn tak lebih dari sekedar tangga untuk mencapai akidah; alam hanyalah sebagai alat untuk membuktikan keberadaan Tuhan dan bukan untuk kepentingan manusia, padahal manusialah yang hidup di alam dan membutuhkannya. Inilah yang menyebabkan filsafat alam di dalam pemahaman Kalâm klasik sama sekali keluar dari permasalahan epistimologi, dan hanya berkutat pada permasalahan ontologi, yaitu bahwa kehudûtsan alam membuktikan keberadaan Tuhan.

Dalîl Al-Hudûts inilah yang menjadi kerangka bagi filsafat alam yang terdapat dalam ilmu Kalâm, baik secara keseluruhan maupun bagian-bagiannya. Inilah yang menjadikan ketuhanan sebagai akhir dan tujuan, sebagaimana dia adalah awal dan titik tolak, sehingga pembahasan terhadap alam terjebak dalam lingkaran tertutup dari teologi menuju ontologi dan sebaliknya.
****
Teolog yang pertama kali memanfaatkan teori atom untuk membuktikan kehudûtsan alam adalah Abû Al-Hudzayl al ‘Allâf, seorang teolog Mu’tazilah yang hidup antara tahun 135-226 H. Abû Al-Hudzail mengganti istilah atom dengan istilah baru yang islami, yaitu Al-Jawhar Al-Fard (individuum corpus, benda utuh yang terkecil). Madzhab Jawhar Al-Fard ini kemudian diikuti oleh semua Mu’tazilah—kecuali beberapa orang—dan asyâ‘irah, bahkan madzhab ini sempurna di tangan yang terakhir disebut ini.

Secara umum dapat dikatakan bahwa Jawhar Al-Fard adalah pondasi dasar bagi filsafat alam dalam Kalâm, sampai sebagian orang menyebut bahwa Kalâm adalah aliran filsafat yang berbicara tentang asas atom. Hanya saja hal ini tidak berarti bahwa teori Jawhar Al-Fard adalah semata-mata pindahan dari teori atom. Teori atom adalah teori yang mencoba memahami dan mentafsirkan alam. Sedangkan teori Jawhar Al-Fard adalah terori yang berusaha menjelaskan hubungan alam dengan Penciptanya, berawal dari keberadaan Allah dan berakhir pada penetepan kekuasaan dan pengetahuan-Nya yang meliputi segalanya. Oleh karena itulah teori Jawhar Al-Fard terjebak dalam lingkaran tertutup dari teologi menuju ontologi dan sebaliknya (Allah => alam => Allah).

Atom di tangan para filosof Yunani bergerak dengan gerakan yang tak berakhir. Gerakan inilah yang menjadikan alam menjadi sesuatu yang mekanis yang terdiri dari perpaduan antara atom-atom yang menyusunnya, sehingga tidak membutuhkan penciptaan Tuhan. Sedangkan di tangan para teolog Islam—baik Mu’tazilah maupun Asyâ‘irahJawhar Al-Fard adalah sesuatu yang hâdits, yang diciptakan oleh Allah. Al-‘Allâf telah menambahkan sifat ‘diam’ kepada atom Yunani, hal ini tidak diakui oleh Democritus. Konsep ‘diam’ bagi Al ‘Allâf adalah penolakan terhadap konsep perpaduan atom dalam teori atom Yunani dan merupakan penegasan bagi penciptaan Tuhan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa teori Jawhar Al-Fard tak lain adalah penetapan keberadaan Tuhan, bahkan dia adalah penetapan terhadap penciptaan alam yang terus-menerus oleh Tuhan.
****

Sebagaimana disinggung sebelumnya, filsafat Islam (Al-Hikmah) tak lain adalah perpanjangan dari Kalâm. Jalan yang ditempuh oleh filsafat Islam memang relatif berbeda dengan Kalâm. Hanya saja keduanya sebenarnya adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam naungan peradaban Islam. Kalâm tak lebih dari kegiatan berpikir filsafatis terhadap permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh wahyu. Dan pada saatnya Kalâm juga banyak menggunakan logika yang menjadi dasar utama filsafat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam sebenarnya adalah perkembangan dari Kalâm yang telah mencapai kematangan.

Dari sini dapat kita pahami bahwa kita tidak dapat memahami Kalâm tanpa filsafat, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, pembicaraan tentang filsafat alam dalam Kalâm tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang filsafat alam dalam Al-Hikmah.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa pembahasan tentang alam di tangan para filosof menjadi lebih jelas dan terarah jika dibandingkan dengan mutakallimîn. Mereka (para filosof Islam) semua sepakat bahwa materi Al-Hikmah mencakup tiga aspek: logika, alam dan teologi. Di tangan para filsuf, alam tak lagi hâdits. Hal ini disebabkan oleh pengaruh filsafat Yunani yang tidak bisa membayangkan keberadaan alam dari tidak ada. Oleh karena itu para filsuf kemudian menerima dan mengembangkan teori emanasi (pancaran) sebagai ganti dari  Jawhar Fard. Hanya saja hal ini tak mampu membebaskan alam dari permasalahan ontologi yang mengarah pada teologi dan sebaliknya dalam lingkaran tertutup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pandangan yang dimiliki oleh para filsuf Islam terhadap alam pada hakikatnya tidak berbeda dengan pandangan yang dimiliki oleh mutakallimîn.

Menuju Kalâm Masa Depan
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa bila dipandang dari kaca mata filsafat ilmu modern, ilmu Kalâm banyak sekali memiliki sisi-sisi negatif. Dengan kata lain, pandangan ilmu Kalâm terhadap alam menjadikan perjalanan sains yang semula tumbuh subur dalam naungan peradaban Islam terhenti bahkan hilang sama sekali. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa Kalâm kehilangan sisi positif sama sekali. Sebagai aktifitas paling pertama dalam memahami wahyu dengan menggunakan akal sebelum masuknya pengaruh luar, Kalâm memiliki akar yang sangat kuat bagi pembentukan pola pikir muslim. Bahkan dapat dikatakan bahwa Kalâm adalah merupakan perwujudan dari apa yang disebut sebagai ‘Al-‘Aql Al-‘Arabî Al-Shamîm’ (produk pemikiran yang paling orisinal).
Oleh karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah pembaharuan Kalâm, dengan tetap memperhatikan sisi-sisi positif yang dimilikinya. Pembaharuan adalah sunnah kehidupan. Semua yang ada di jagad raya berubah dari waktu ke waktu menuju kondisi yang lebih baik. Manusia dan pemikiran-pemikirannya pun tak luput dari sunnah ini.

Kalau kita buka lembaran sejarah, perubahan dan pembaharuan dalam Kalâm ini bukanlah merupakan sebuah hayalan, tapi benar-benar merupakan sesuatu yang terjadi dalam kehidupan. Sejak abad pertama berdirinya peradaban Islam banyak sekali pertentangan dan perbedaan pendapat seputar masalah akidah. Bahkan di antara sekian banyak pertentangan tersebut banyak sekali yang menimbulkan pertumpahan darah. Kita tentu bukan bermaksud mengulangi sejarah kelam masa lalu tersebut, tapi kita di sini hanya ingin menunjuk bahwa perubahan dalam bidang akidah tersebut merupakan sesuatu yang benar-benar terjadi, bahkan pada saat-saat awal lahirnya Islam. ‘Perkembangan akidah itu mungkin terjadi, bahkan dia sekarang adalah merupakan sesuatu yang wajib.’
****

Yang pertama sekali harus disadari dalam pembaruan ilmu Kalâm ini adalah bahwa Kalâm klasik tak lebih adalah produk sejarah yang timbul sebagai jawaban atas kondisi yang ada pada saat itu. Di sinilah tampak pentingnya membedakan antara akidah dan Kalâm. Keyakinan-keyakinan yang berkenaan dengan Tuhan (akidah) bersifat tetap, suci dan tidak dapat diubah-ubah, sementara ilmu Kalâm tidaklah demikan halnya. Ilmu Kalâm murni bersifat manusiawi, diciptakan oleh manusia dalam ruang dan waktu tertentu dengan kondisi yang tertentu pula.

Tanpa menyadari keberadaan ilmu Kalâm dengan pemahaman di atas, sangat mungkin sekali kita terjebak dalam apa yang disebut oleh F. Bacon sebagai idols of theatre (Awhâm Al-Masrah), yaitu kesalahan-kesalahan yang disebabkan karena kepercayaan yang berlebihan terhadap apa yang ditulis oleh para pendahulu. Idols of theater ini disebabkan ketidakmampuan kita dalam membedakan antara yang nisbi dan yang mutlak. Kalâm adalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu dia bersifat nisbi dan bisa berubah-ubah sesuai tuntutan kondisi.
“… Sikap kita terhadap turats bukan hanya sebagai pemindah saja. Mereka manusia, kita juga manusia. Kita belajar dari mereka dan bukan sekedar mengikuti mereka. Sikap kita adalah sikap sseorang peneliti dan pengkritik. Apabila mereka memilih sesuatu, maka kita memilih sesuatu yang lain, karena memang kondisi yang berubah. Mereka dulu melakukan ekspansi, sementara kita adalah korban ekspansi. Mereka memberikan prioritas kepada naql, sementara kita memberikannya kepada akal. Mereka mengutamakan iman dan kita mengutamakan amal. Mereka mengedepankan ketuhanan, sementara kita mengedepankan kemanusiaan. Dalam fiqih mereka mementingkan ibadah karena memang agama masih baru, sedangkan kita lebih mementingkan kerja (amal) karena percaturan politik dan ekonomi yang ada saat ini.”

Dengan sikap seperti di atas, kita tidak akan menemukan hubungan antara Kalâm baru dan Kalâm klasik sebagai ketersambungan yang bersifat negatif, yang menjadikan klasik sebagai subyek dan baru sebagai obyek, atau yang menjadikan para pendahulu sebagai pewasiat dan kita sebagai pendengar saja. Tapi dalam waktu yang bersamaan hubungan tersebut juga bukan merupakan keterputusan yang menjadikan Kalâm baru tumbuh dari kekosongan. Dialektika antara ketersambungan dan keterputusan inilah yang menjadikan Kalâm masa depan sebagai kendaraan yang sempurna untuk mencapai kemjuan di masa yang akan datang.
****

Dialektika antara ketersambungan dan keterputusan ini sangat erat kaitannya dengan Al-Qathî‘ah Al-Ma‘rifîyah (La Rupture Epistemologique) yang dicetuskan oleh G. Bachleard (1884-1962). Tokoh filsafat ilmu berkebangsaan Perancis ini meletakkan Al-Qathî‘ah Al-Ma‘rifîyah (keterputusan epistemologis) dalam kerangka filsafat dialektik antara ada-tidak ada dan antara ketersambungan-keterputusan, demi terjadinya pertambahan kualitatif dalam bangunan ilmu dan bukan sekedar pertambahan kuantitatif. Al-Qathî‘ah Al-Ma‘rifîyah didasarkan pada hukum dialektika yang terkenal: ‘pertambahan kuantitas menyebabkan perubahan kualitas’.

Menurut teori Al-Qathî‘ah Al-Ma‘rifîyah, perkembangan ilmu didasarkan pada pemutusan hubungan dengan masa lalu, tapi bukan dalam arti mengingkarinya. Hal yang terakhir disebut ini tidak pernah terjadi dalam perkembangan ilmu. Newton misalnya, dengan jujur mengakui bahwa dia tampak begitu tinggi karena berdiri di atas pundak para pendahulunya. Al-Qathî‘ah Al-Ma‘rifîyah memberi pemahaman bahwa apa yang ada hari ini bukanlah sekedar kelanjutan mekanis atau tambahan kuantitatif terhadap apa yang ada pada masa lalu. Kemajuan berdasarkan Al-Qathî‘ah Al-Ma‘rifîyah berarti membuat jalan baru yang belum pernah dilakukan oleh para pendahulu, baik karena kondisi yang belum menuntut adanya hal itu maupun karena keterbatasan cara berpikir mereka. Contoh yang diberikan oleh Bachleard dalam hal ini adalah penemuan lampu listrik. Lampu listrik bukan sekedar kelanjutan dari cara-cara penerangan klasik yang didasarkan pada pembakaran, tapi dia adalah merupakan pemutusan terhadap semua cara lama dengan menciptakan penerangan yang sama sekali tidak didasarkan pada pembakaran.
****

Lalu bagaimanakah bentuk ilmu Kalâm baru setelah dipersenjatai dengan Al-Qathî‘ah Al-Ma‘rifîyah  
ini? Sebagaimana disebut di awal, tujuan yang ingin dicapai oleh Kalâm klasik adalah pembuktian akidah. Pada masa awal lahirnya, Islam banyak sekali menghdapi serangan pemikiran, baik dari dalam maupun dari luar. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya Kalâm klasik sebagai usaha untuk mempertahankan keyakinan agama. Kalau kita lihat kondisi kita sekarang, ancaman yang dihadapi oleh para pendahulu kita tersebut sudah hampir tidak ada, atau setidaknya sangat sedikit sekali. Kondisi yang ada pada kita sekarang adalah kebalikan dari kondisi yang ada pada para pendahulu kita. Oleh karena itu pada masa sekarang, kita tidak menjadikan pembuktian akidah sebagai tujuan, tapi justru kita berangkat dari akidah yang sudah mapan menuju pengejewantahan manusia muslim dalam peradaban masa kini dan masa yang akan datang. Jika dalam Kalâm klasik manusia dan alam dijadikan sebagai muqaddimah untuk membuktikan keberadaan Tuhan Yang Esa, maka dalam Kalâm baru Allahlah yang kita jadikan sebagai titik tolak dalam usaha untuk mewujudkan eksistensi manusia dalam perjalanan sejarah.

Dalîl Al-Hudûts yang menjadi pondasi dasar Kalâm klasik telah menjadikan pembahasan terhadap alam sebagai permasalahan ontologi. Maka tugas Kalâm baru adalah mengubah (mengembalikan) pembahasan terhadap alam ini sebagai permasalahan epistimologi. Dengan kata lain Kalâm baru harus memandang alam bukan sekedar sebagai bukti keberadaan Tuhan, tapi dengan tujuan untuk memahami, mentafsirkan, mengadakan prediksi dan eksploitasi bagi kemajuan manusia. Dan untuk itu Kalâm baru harus berani melepaskan diri dari pendahulunya yang menjadikan alam terjebak dalam lingkaran tertutup antara ontologi dan teologi.

Kalau kita perhatikan perkembangan ilmu di Barat, pada awalnya kegiatan ilmiah sama sekali tidak terpisah dari keyakinan agama. F. Bacon misalnya berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya dan para ilmuwan semasanya tak lain adalah usaha untuk memperlajari ‘Taurat Alam’ untuk membuktikan kekuasaan Tuhan yang terdapat pada ciptaannya. Hanya saja, usaha hal ini sama sekali tidak menghalangi mereka untuk melindungi ilmu dari campur tangan Tuhan.
Usaha untuk berpindah dari membaca kita suci menuju kitab alam ini sebenarnya sudah lebih dulu dilakukan oleh umat Islam. Tapi semua itu jadi tidak berarti di saat umat Islam gagal meletakkan alam dalam kerangka epistimologi dan terjebak dalam lingkaran tertutup yang menjadikan alam hanya sekedar sebagai alat untuk mengenal Tuhan.

Ilmu pada masa sekarang ini bukan lagi ‘membaca kitab alam’ untuk mengetahui hukum-hukum pasti yang ada di dalamnya (determinisme). Tapi ilmu menurut epistemologi modern adalah ‘hipotesa-hipotesa jenius yang berhasil dibuktikan melalui percobaan’. Dan tugas Kalâm baru adalah meletakkan alam dalam kerangka epistemologi modern ini. Kalâm baru harus mampu memberi kebebasan yang seluas-luasnya bagi perkembangan ilmu, karena sebagai hasil cipta rasa manusia ilmu akan terus berkembang secara vertikal dan berubah dari waktu ke waktu.
Yang tidak boleh berubah adalah kepribadian kita sebagai muslim. Sebagai peradaban yang bersumber dari wahyu kita harus tetap berpegang pada tauhid yang menjadikan Allah, manusia dan alam dalam satu kesatuan. Ini adalah identitas kita yang harus kita pertahankan secara terus-terus menerus, dengan syarat tidak menghalangi kita untuk mengkaji alam dalam kerangka epistemologi.

Apabila ini mampu dilakukan oleh Kalâm baru, maka berarti dia telah mampu melaksanakan tugasnya menjadikan wahyu sebagai syari’at yang bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar