Sabtu, 24 Desember 2016

FILOSOFI AGAMA


FILOSOFI AGAMA – Logika Akal dan Logika Spiritual


Filosofi secara definitive adalah ilmu/suatu bentuk pemahaman yang melandasi atas ‘sesuatu’ dalam bentuk abstrak maupun kongkrit, dan menjadi jiwa dari hal tersebut, sehingga dalam melaksanakan kegiatan yang berhubungan dg hal2 tersebut sesuai dg dasar2 yang menjadi pondasinya. Dimana pelaksanaan dari agenda tersebut tetap berpegang pada pedoman dan akan membentuk jiwa dari hal yg telah d canangkan, dimana pengorbanan dan ketepatan dalam mengambil keputusan akan merefleksikan kekuatan jiwa dari hal yag diperjuangkan.

Definisi selalu menyandarkan pada hal yang dirasa oleh mereka yang kompeten dalam bidangnya masing-masing yang disesuaikan oleh kondisi dan emosional (kepentingan secara subjective). Sehingga dalam pemahamannya selalu mengalami kejanggalan dan akan terus berkembang sesuai dengan perubahan / dinamika yang selalu terjadi.
Keterbatasan akal sangatlah mejadi penentu atas definisi yang diciptakan dalam menginterpretasikan filosofi, karenanya tidaklah mengeherankan bila filsuf selalu beda pendapat dan cenderung dipaksakan atas pemahaman dalam mengartikan filosofi itu sendiri, yang disebabkan keterbatasan2 akal dalam mengartikan dan menuangkan dalam kata. Belum lagi kendala interpretasi dalam bahasa kerap menjadi gap sendiri dalam mengartikan definisi dalam lintas bahasa.

Dalam kaidah secara agama, filosofi yang terbentuk cenderung dekat dengan akar budaya dimana (tempat) agama tersebut menjadi besar maupun tempat dilahirkan. Kecenderungan penguasa pada saat proses terjadinya agamapun kerap sangat berpengaruh besar atas atas kaidah maupun norma yang selanjutnya menjadi ketetapan. Sakralisasi akan semakin terjadi bila pemahaman atas agama sudah mulai tidak singkron dari filosofi agama itu sendiri.
Penyimpangan2 yg terjadi sebagai akibat interfensi penguasa, kelompok kepentingan maupun golongan yg berpengaruh, sebagai akibat perkembangan yang terjadi diwaktu belakangan hari setelah kelahiran agama akan menjadi hal biasa disebabkan semakin pluralisasi dalam masyarakat yang terbagi dalam banyak kepentingan.

Dalam banyak kitab suci agama yang ada dengan mayoritas pengikutnya didunia, banyak  terjadi pemahaman yang berbeda-beda dari tiap2 generasi, yang menelorkan pemahaman dan aliran yang cenderung berkelompok-kelompok. Sehingga klaim kebenaran akan dengan sendiri nya menjadi eksklusif milik kelompok sesuai dg pengakuan dimana masing2 bernaung.

Kebenaran itu sendiri bersifat nisbi yang menempati ruang dan waktu serta dinamis mengikuti hukum2 yang telah ditetapkan  Sang Pencipta. Kebenaran tidak akan bisa dicapai dalam perjalanan seseorang yang berlandaskan logika semata dan berbekal keimanan keimanan, sampai dg pencapaian hujjah akal (akal telah mendapat bukti atas kebenaran tsb).
Penyimpangan yang terjadi diawal akan berlarut-larut akan terus terjadi dikarenakan kedangkalan dalam konsep berfikir, serta melupakan penguasaan atas filosofi dari agama yg dianutnya itu sendiri.
Hal ini potensial dan telah terbukti mengakibatkan banyaknya perselisihan.
Mengatasnamakan Tuhan menjadi hal yg biasa dilakukan untuk mencapai tujuan baik secara sadar maupun tidak, walaupun manusia diberikan akal untuk berfikir, tetapi peran nafsu yang menjadi dasar, dimana akal memfasilitasi dari nafsu itu untuk mencapai tujuan yg diinginkan, dengan pembenaran2 yang disesuaikan. Padahal, tidak disatu kitab suci pun membolehkan nafsu untuk berperan dalam pengambilan keputusan, tetapi nyatanya hampir semua keputusan musyawarah secara agama melibatkan nafsu.

Keterlibatan nafsu dalam diri manusia membuktikan bahwa akal bukanlah satunya2nya fasilitas dalam memahami dan mencapai tujuan hidup didunia.
Akal lebih dari sekedar alat yg digunakan dalam pencapaian tujuan manusia dalam menterjemahkan elemen2 yg di tangkap manusia secara materi maupun immateri, menterjemahkan keinginan yang muncul dan merealisasikannya.

Bagaimana mungkin dapat memahami sesuatu yang hukum dan ketentuannya berbeda. Hal ini dapat diibaratkan manusia yang mencoba mempelajari laut sementara mereka hidup dalam daratan. Ilmu yang mereka peroleh sangat sedikit dan tidak akan pernah selesai karena banyaknya keterbatasan semisal tehnologi, dana, kualitas pengetahuan dan kandugan laut itu sendiri maupun hal lainnya, serta keterbatasan usia manusia yang melakukan riset tersebut.

Kalaupun terjadi kesimpulan maupun pendefinisian, pemahamannya akan sangat terbatas pada mereka yang mengkhususkan diri dalam bidang tertentu.
Akal menjadi alat/ fasilitas dalam memhami ketuhanan ditahap awal, dimana dalam tahapan berikutnya akan menjadi pembatas.
Begitu juga keimanan sebagai pintu pertama mendoktrinisasi diri dalam menerima nilai2 agama yang tidak bisa diterima oleh akal (diwaktu tsb).
Kemajuan tehnologi yang digaungkan oleh kaum logis (mereka yang menomorsatukan logika diatas segalanya) diikuti oleh percepatan pemahaman atas spiritual.dimana pada kenyataannya terjadi shortcut dalam pencapaian derajat seseorang dalam konteks terpilih.

Spiritualist yang terberkati mereka yang mempunyai kemampuan lintas agama, dimana mereka berfikir tanpa dibatasi oleh dimensi maupun ketentuan yang terbatas, melainkan sejalan dengan hakiki kitab suci yang dapat ditemukan dalam filosofi keagamaan.
Pemahaman agama tanpa berfikir akan mudah berubah dalam perjalanannya ataupun akan berakhir dalam fanatisme berlebihan yang sudah pasti keluar dari filosofi agama manapun.
Mereka yang berada dan menamakan dirinya agamis, hanya layak disandang oleh mereka yang mempunyai kemampuan menganalisa dan memperoleh pemahaman dalam mengartikan filosofi dalam agama serta ketentuan / aplikasi dunia secara detil. Bagaimana mungkin mereka mengatasnamakan agama sementara mereka sendiripun tidak dapat menjelaskan secara ‘mendekati kebenaran’ mengenai siapa Tuhan.

Sebaliknya, kaum atheis tidak akan mampu mencapai serta mempercayai konsep ketuhanan, karena ketidak adaan sesuatu’ tertentu yang mutlak dimiliki. Hal ini diibaratkanseperti halnya seorang tukang masak disuruh membuat steik daging tetapi tidak mempunyai daging.
Sehingga dalam realitanya terdapat sedikit dari mereka yng memiliki kemampuan memproses akal dan hati dalam menyerap ilmu Hakikat Ketuhanan. Mereka orang yang terpilih dengan tugas masing2 dan diantara mereka suatu saat akan saling mengenal dalam keilmuanNya.

Dogma dalam masyarakat yang tidak mendasar, erat kaitannya dengan cerita turun temurun yang dipercaya sebagian orang sebagai sesuatu yang nyata, ditambah lagi pengkultusan individu sebagai seseorang dengan kemampuan yang luar biasa, menimbulkan penambahan-penambahan yang semakin menjauhkan dari esensi agama dalam misinya. Kerap kali dalam perdebatan terjadi adu argumentasi berdasarkan emosional dan pemahaman yang sempit atas agama, sehingga agama tersebut menjadi rancu dalam hubungannya dengan pengetahuan.

Kondisi tersebut dialami oleh semua agama dalam perjalanannya, hanya saja ada yang tetap bisa bertahan dengan kembali ke aturan dasar (Kitab Suci), ada yang mengalami revisi, maupun pergeseran dalam aplikasinya.

Filsuf Jerman, Immanuel Kant dengan teori Pnoumena (realitas jasmani) dan Noumena (realitas rohani, dengan kategori talenta), cukup mendekati terhadap realitas atas 2 sisi kehidupan yang berbeda tersebut. Hanya saja Kant sebagai pengamat, bukan pelaku yang memiliki Noumena cukup untuk menjembatani 2 hal yang berbeda tersebut.

Bagaiman mungkin pencapaian kesimpulan spiritual dengan hukum dan standart sendiri, dapat dinilai oleh logika yang memiliki hukum dan standart berbeda !? Hal ini muncul sebagai reaksi kedangkalan logika manusia dalam pemahaman yang tidak mampu dioptimalkan, diarahkan ke hal lain yang mereka mampu menganalisa , tetapi pada kenyataannya telah jauh melenceng dari target semula.
Akal sebagai organ untuk hukum realitas duniawi, dengan penggolongan terhadap sesuatu yang nyata dan dapat diterima akal secara mayoritas. Hal ini dikategorikan sebagai logika akal, dengan perangkat bantunya berupa panca indra.

Hati sebagai organ untuk hukum spiritual, dengan standart yang berbeda dalam kerjanya dan cenderung subyektif. Pada tahapan tertentu, bagi mereka yang mampu mengendalikan ‘diri’, secara otomatis akan memiliki sensor penghubung dengan logika akal, sehingga pengalaman supranatural dapat dijelaskan secara logika (untuk dirinya sebeluh dishare dengan orang lain). Hanya saja kemampuan tersebut agak jarang dimiliki manusia karena keterbatasan dalam banyak hal.
Contoh perbedaan mendasar atas 2 logika tersebut dapat dilihan pada seseorang yang dalam hidupnya miskin harta, maka dalam konsep keadilan Tuhan akan ada pemikiran:
  1. Logika Akal akan melihat sebagai bentuk ketidak adilan.
  2. Logika Spiritual akan melihat sebagai hal yang menguntungkan, karena kondisi tersebut lebih memudahkan orang untuk melakukan pendekatan kepada Tuhan (bila dia mengambil kesempatan itu).
Sigmun Freud (1856-1939) yang menyimpulkan bahwa agama adalah satu respon manusia terhadap ketidak berdayaan mereka untuk mengontrol dunia, merupakan kesimpulan yang mengandung kebenaran (sebagian besar manusia melakukan hal ini). Hanya saja tolok ukur dari sudut pandang logika akal, padahal wilayah ini menjadi bagian dari logika spiritual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar