Senin, 05 Desember 2016

PERANAN GURU DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM


Peranan Guru Dalam Pengembangan Kurikulum
Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu komponen, hilang pulalah hakikat pendidikan. Dalam situasi tertentu tugas guru dapat diwakilkan atau dibantu oleh unsur lain seperti oleh media teknologi, tetapi tidak dapat digantikan. Mendidik adalah pekerjaan professional, oleh karena itu guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik professional[1].
Departemen pendidikan dan kebudayaan (1980) telah merumuskan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dan mengelompokkannya atas tiga dimensi umum kemampuan, yaitu; kemampuan professional, kemampuan social, dan kemampuan personal[2]. Kemampuan professional disini bukan hanya dalam penguasaan materi pelajaran, akan tetapi juga memiliki dan mengetahui strategi, permainan edukasi, ide atau sesuatu yang dapat menciptakan suasana aktif dalam pembelajaran yang bermakna.
Adapun kemampuan social adalah; guru dapat berkomunikasi secara efektif baik kepada peserta didik, teman-teman guru, kepala sekolah, orang tua murid ataupun masyarakat sekitar. Dan yang terakhir adalah kemampuan personal, dimana guru dituntut memiliki sikap dan penampilan yang positif, karena seyogyanya guru adalah model bagi murid-muridnya, maka tidaklah salah jika pepatah mengatakan "guru kencing berdiri, murid kencing berlari".
Berbicara tentang pengembangan kurikulum, penulis akan langsung menjelaskan sedikit tentang definisi tersebut yakni, pengembangan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa siswa ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan-perubahan itu telah terjadi pada diri siswa[3]. Jika diteliti lebih jauh, terdapat beberapa kata yang perlu digarisbawahi yakni perencanaan, perubahan, dan menilai yang semua itu berada di bawah tugas seorang guru.
Adalah wajar jika guru menempati peran yang cukup penting dalam pengembangan kurikulum, karena seorang guru, dialah orang yang paling mengerti dan mengetahui situasi dan kondisi hasil belajar peserta didiknya serta bertanggung jawab penuh didalamnya. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru berpangkal pada suatu kurikulum, dan dalam proses pembelajaran guru juga berorientasi pada tujuan kurikulum. Pada sisi lain, guru adalah pembelajar siswa, yang secara kreatif membelajarkan siswa sesuai dengan kurikulum sekolah. Hal itu menunjukkan bahwa dalam tugas pembelajaran dipersyaratkan agar guru memahami kurikulum[4].
Akan tetapi, pada kenyataannya tidaklah banyak dari para guru yang memahami dengan baik tentang sebuah kurikulum yang sedang berlaku. Sebagai contoh, KTSP yakni kurikulum tingkat satuan pendidikan yang sedang digunakan sekarang. Para guru beranggapan tidak ada perubahan yang berarti dari KBK ke KTSP, malah ada dari beberapa guru tersebut yang beranggapan bahwa perubahan kurikulum tersebut hanyalah akal-akalan pemerintah untuk menghabiskan uang Negara.
Banyak dari para guru yang malas diajak berpikir dan berubah secara dinamis. Mereka lebih suka makan matangnya (produknya) daripada berproses, yang membutuhkan kesungguhan intelektual dan komitmen tinggi. Sedangkan proses jauh lebih penting dan menentukan kualitas seseorang dari pada produknya. Proses akan mendinamisasi dan merevitalisasi paradigma berpikir mereka menjadi progresif, proaktif, dan produktif. Kemampuan analisis, menciptakan solusi, dan mengkonsepkan teknis aplikasi mereka akan terasah[5].
Kata "mereka" pada kalimat diatas mengisyaratkan bahwa sejatinya bukan hanya guru yang perlu dibina, akan tetapi kepala sekolah dan pengawas pendidikan juga perlu dibekali tentang bagaimana mengaplikasikan sebuah kurikulum, guna meninjau kinerja guru serta mengavaluasi mereka. Tidaklah baik kiranya jika seorang guru dapat mengimplementasikan sebuah kurikulum tanpa adanya evaluasi  dan dukungan dari pengawas ataupun kepala sekolah. Meski begitu, penulis tidak menafikan bahwa yang menempati posisi kunci dalam hal ini adalah guru. Seperti yang disebutkan Oemar Hamalik dalam bukunya, "demikian pula guru harus mampu membuat aneka macam keputusan dalam pembinaan kurikulum. Pada dasarnya betapa pun baiknya suatu kurikulum, berhasil atau tidaknya akan sangat bergantung kepada tindakan-tindakan guru di sekolah dalam melaksanakan kurikulum itu[6]."
Selanjutnya, penulis akan memaparkan beberapa peran guru dalam pengembangan kurikulum, untuk mendukung statement bahwasanya guru merupakan salah satu faktor penting dalam implementasi kurikulum. Menurut Murray Printr, terdapat 4 peranan guru dalam pengembangan kurikulum yakni sebagai; implementers, adapters, developers, danresearchers[7].
Sebelum menerangkan terlalu jauh tentang peran tersebut, ada baiknya jika mengetahui langkah-langkah yang seyogyanya dilakukan guru dalam mengembangkan kurikulum tersebut. Langkah tersebut sebagai kemandirian guru ataupun kepala sekolah dalam mengimplementasikan kurikulum guna mencapai prestasi dan kualitas pembelajaran yang tinggi sehingga peserta didik dapat mencapai hasil yang optimal, diantaranya;
1.      Melakukan analisis SWOT yakni strength (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunities (peluang), dan traith (tantangan). Setelah menganalisis, guru ataupun kepala sekolah dapat berimprovisasi terhadap kurikulum yang diterapkan, mereka diberi kebebasan dan keleluasaan dalam menjabarkan SKKD dan mengembangkan silabus dan RPP sesuai kebutuhan dan karakteristik sekolah.
2.      Memahami karakteristik peserta didik, hal ini harus dilakukan sesuai dengan tingkatan peserta didik. Sedikitnya ada 3 hal yang harus dipahami dalam hal ini, yakni pertumbuhan dan perkembangan kognitif, tingkat kecerdasan, kreativitas, serta kondisi fisik.
3.      Membina hasrat belajar, dalam hal ini guru diharuskan menciptakan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, selain itu guru juga harus memanfaatkan fasilitas dan sarana pendidikan yang ada untuk menunjang hal tersebut. Adakalanya membawa peserta didik langsung ke sumber berita juga menjadi pilihan yang tepat, dengan tetap mengacu pada anggaran dana yang telah direncanakan.
4.      Memantau kemajuan belajar, hal ini berfungsi untuk menciptakan budaya kerja yang efektif dan efisien di kalangan peserta didik maupun di kalangan guru sendiri.
5.      Membangun lingkungan yang kondusif, dengan menciptakan dan mendayagunakan fasilitas pendidikan seperti laboratorium, perpustakaan, ruang BK, kantin dll.
6.      Merevitalisasi forum musyawarah guru, seperti musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) yang merupakan suatu wadah yang efektif dalam memantapkan profesi guru, karena didalamnya guru dapat berdiskusi dan menelaah mengenai kesulitannya di kelas serta dapat saling tukar pikiran dalam merancang model pembelajaran dan implementasi kurikulum yang berlaku.
7.      Memberdayakan tenaga kependidikan, sebab keberhasilan pendidikan di sekolah sangat ditentukan oleh keterlibatan tenaga kependidikan dalam seluruh kegiatan di sekolah. Dalam hal ini, peningkatan produktifitas dan prestasi kerja dapat dilakukan dengan meningkatkan perilaku tenaga kependidikan di sekolah melalui aplikasi berbagai konsep dan teknik manajemen personalia modern[8].
Selanjutnya kembali pada peranan guru dalam pengembangan kurikulum, yang pertama adalah sebagai implementers, yakni sebagai pengimplementasi kurikulum. Dalam hal ini, guru hanya mengaplikasikan kurikulum yang telah dibuat oleh pemerintah sebagai tenaga teknis. Dalam hal ini, guru tidak memiliki ruang untuk menentukan isi ataupun target kurikulum. Martinis Yasmin menyebutkan, bahwa guru menerapkan kurikulum yang telah dirancang pemerintah dan institusi, dan mereka harus mampu mengajarnya walaupun kurikulum sebelumnya terdapat banyak perubahan. Demikian juga muatan yang terdapat dalam kurikulum[9].
Kedua, sebagai adapters, yakni peran guru sebagai pelaksana kurikulum. Bukan hanya itu, guru juga diperbolehkan untuk menyelaraskan kurikulum yang ada dengan situasi, kondisi dan kebutuhan siswa dalam suatu daerah. Peran ini lebih luas cakupannya dibanding dengan peran guru sebagai implementers, sebagai contoh; kebijakan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), para perancang kurikulum hanya menentukan standar isi sebagai standar minimal yang harus dicapai. Bagaimana implementasinya, kapan waktunya dan hal-hal teknis lainnya seluruhnya ditentukan oleh guru. Dengan demikian guru akan lebih merasa tertantang untuk memvariasikan kegiatan pembelajaran dan terhindar dari rutinitas yang menjemukan karena memiliki kesempatan dalam mengembangkan kreatifitas yang dimilikinya.
Ketiga, sebagai developers, yakni peran guru sebagai pengembang kurikulum.  Dalam hal ini, guru dapat mendesain kurikulum sesuai dengan visi dan misi sekolah. Ini merupakan salah satu dari kelebihan kurikulum KTSP yang sedang berlaku saat ini yakni, memberikan otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan. Salah satu contohnya, adalah pengembangan muatan lokal dan pengembangan diri yang berbeda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya.
Keempat, sebagai researchers, yakni peran guru sebagai peneliti kurikulum. Guru yang professional akan meneliti dulu kurikulum yang akan digunakan untuk meningkatkan kinerjanya sebagai seorang guru. Dalam buku profesi keguruan disebutkan, di dalam pelaksanaan kurikulum tugas guru adalah mengkaji kurikulum tersebut melalui kegiatan perseorangan atau kelompok (dapat dengan sesama guru di satu sekolah, dengan guru di sekolah lain atau dengan kepala sekolah dan personel pendidikan lain seperti pengawas). Dengan demikian guru dan kepala sekolah memahami kurikulum tersebut sebelum dilaksanakan[10].
Selain Murray Printr, Saiful Arif juga menulis dalam bukunya, bahwa pengembangan kurikulum dari segi pengelolaannya dapat dibedakan antara yang bersifat sentralisasi, desentralisasi, dan sentral-desentral. Dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi, kurikulum disusun oleh suatu tim khusus di tingkat pusat. Kurikulum bersifat uniform untuk seluruh Negara, daerah, atau jenjang/jenis sekolah[11]. Sedangkan desentralisasi adalah sebaliknya yakni; disusun oleh sekolah atau sekelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah atau daerah.
Baik sentralisasi maupun desentralisasi, keduanya memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing, sehingga untuk mengatasi hal tersebut dibentuklah campuran antara keduanya yakni sentral-desentral. Untuk memperjelas antara sentralisasi dan desentralisasi, penulis akan memjelaskan sedikit tentang kelebihan dan kekurangan dari keduanya.
Beberapa kelebihan sentralisasi, adalah;
1.      Mendukung terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa
2.      Tercapainya standar minimal penguasaan/perkembangan anak
3.      Mudah dikelola, dimonitor dan dievaluasi, serta lebih hemat dilihat dari segi waktu, biaya dan fasilitas.
Adapun tentang kelemahan sentralisasi, adalah;
1.      Penyeragaman kondisi yang dapat menghambat kreatifitas, hal ini akan memperlambat kemajuansekolah yang sudah mapan.
2.      Ketidakadiklan dalam menilai hasil.
3.      Menunjukkan adanya perbedaan yang sangat ekstrem.
Berbicara tentang desentralisasi, dimana pengembangan kurikulumnya didasarkan pada karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa akan terjadi lebih banyak kekurangan daripada kelebihannya, yakni;
1.      Kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat setempat.
2.      Kurikulum sesuai dengan tingkat dan kemampuan sekolah, baik secara finansial, professional, ataupun manajerial.
3.      Mudah dalam melaksanakannya.
4.      Ada motivasi kepala sekolah dan guru dalam mengembangkan, mencari, dan menciptakan kurikulum yang sebaik-baiknya.
Adapun kelemahan dari desentralisasi, adalah;
1.      Bentuk ini dianggap kurang tepat untuk beberapa situasi yang membutuhkan keseragaman demi persatuan dan kesatuannasional.
2.      Tidak adanya standar penilaian yang sama.
3.      Adanya kesulitan bila terjadi perpindahan siswa ke sekolah/wilayah lain.
4.      Sukar untuk mengadakan pengelolaan dan penilaian secara nasional.
5.      Tidak semua sekolah siap dan mampu untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri.
Terlepas dari pro dan kontra, kelebihan dan kekurangannya kita akan mencoba melihat peranan guru di dalamnya. Peranana guru baik dalam model sentralisasi maupun desentralisasi dapat dilihat dalam tiga tahap, yaitu tahap perancangan, pelaksanaan dan evaluasi. Kurikulum juga dapat dilihat dalam lingkup mikro dan makro. Pengembangan kurikulum pada tahap perancangan berkenaan dengan seluruh kegiatan menghasilkan dokumen kurikulum, atau kurikulum tertulis. Pelaksanaan kurikulum atau disebut juga implementasi kurikulum, meliputi kegiatan menerapkan semua rancangan yang tercantum dalam kurikulum tertulis. Evaluasi kurikulum merupakan kegiatan menilai pelaksanaan dan hasil-hasil pengguna suatu kurikulum[12].
Selanjutnya, pengembangan kurikulum yang bersifat sentral-desentral, dimana peranan guru lebih besar dibandingkan dengan kedua model sebelumnya. Guru-guru turut berpartisipasi bukan hanya dalam penjabaran kurikulum induk kedalam prota/promes melainkan juga menyusun kurikulum yang menyeluruh untuk sekolahnya.


[1] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) Hal., 191
[2] Saiful Arif, Pengembangan Kurikulum, (Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2009) Hal., 130
[3] Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008) Hal., 97
[4] Dimyati & Mudjiono, Belajar Dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) Hal., 288
[5] Jamal Makmur Asmani, Tips Efektif Aplikasi Ktsp Di Sekolah, (Yogyakarta: Bening, 2010) Hal., 208
[6] Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) Hal., 20
[7] Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2006) Hal., 28
[8] Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kemandirian Guru Dan Kepala Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009) Hal., 81
[9] Seperti Mata Pelajaran Sejarah Kurikulum 1994, Dimana Dimuat Tentang Kekejaman G 30 S Pki Tahun 1948 Di Madiun Dan 1965 Di Jakarta, Sementara Kurikulum 2004 Tidak Dimuatkan Lagi, Dengan Alasan Pengajaran Seperti Itu Akan Mengisolasikan Anak Cucu Seseorang Yang Terlibat Dalam G 30 S Pki Serta Menunbuh Kembangkan Kebencian Sesame Anak Bangsa, Walaupun Kurikulum Ini Mendapat Protes Dari Kalangan Masyarakat Dan Tokoh Senior Umat Islam, Mengingat Kekejaman Dan Kebiadaban Pki Masa Itu. Maka Perlu Member Pelajaran Sejarah Kepada Siswa-Siswa Dan Mengharapkan Pergerakan Biadab Itu Tidak Terulang Lagi Pada Masa Yang Akan Datang. Lih. Martinis Yasmin, Profesionalisasi Guru Dan Implementasi Ktsp, (Jakarta: Gaung Persada, 2008) Hal., 49
[10] Soetjipto & Rafflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009) Hal., 149
[11] Saiful Arif, Pengembangan Kurikulum, (Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2009) Hal., 140
[12] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002) Hal., 199

Tidak ada komentar:

Posting Komentar