Sabtu, 03 Desember 2016

FILSAFAT HUMANISME


Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.  Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah, dan para cendekiawan dalam kesenian bebas. 
Pandangan mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia. Humanisme sekular mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama. 
Humanistik ditinjau dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 masehi. Pergerakan ini merupakan motor penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa. Sedangkan jika ditinjau dari segi filsafat, humanistik adalah faham atau aliran yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga manusia menduduki posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup sehari-hari. Maka dalam faham filsafat ini mengatakan bahwa segala sesuatu ukuran penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi dikembalikan kepada manusia itu sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan diluar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau alam).  
Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.) tujuan gerakan humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam batasan-batasan tertentu, segala bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia harus segera dipatahkan.  Kebebasan merupakan tema terpenting dari humanisme, tetapi bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme abad pertengahan yang dilakukan oleh orang-orang  Gereja pada waktu itu, tapi bukan berarti Humanisme pada waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan Tuhan. Namun, mereka percaya bahwa di balik kekuasaan Tuhan, masih banyak peluang bagi manusia untuk menentukan jalan hidupnya, mengembangkan potensi dan memilih masa depannya sendiri, tanpa terbelenggu oleh kodrat atau ketakutan terhadap murka Tuhan.
 Mereka berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu ada, dan perlu dipertahankan dan di expresikan.  Di depan sudah dijelaskan bahwa manusia adalah pusat dari Realitas, sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan demikian, tidak dibenarkan adanya penilaian atau interpretasi tentang kejadian atau
Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme, pragmatisme, dan existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme. 
·         faham marxisme pada dasarnya mendudukkan manusia (masyarakat / kaum buruh) pada pusat kehidupan. Secara teoritis, paling tidak menjunjung tinggi martabat dan kemanusiaan masyarakat buruh. 
·         Pragmatismepun adalah humanisme, karena paham inipun menempatkan manusia pada posisi yang sentral dalam realitas. Segala sesuatu yang ada pada realitas selalu  dihubungkan dengan  kegunaannya bagi manusia dalam menuju hidup yang lebih baik. 
·         Existensialismepun juga termasuk humanisme. Menurut paham ini, tidak ada dunia diluar dunia manusia, dan di dalam dunianya itu manusia berada dalam posisi yang paling sentral.
Paham humanisme dalam perkembangannya tidak lagi mengacu pada gerakan pembebasan pada zaman Renaisance dan dari doktrin-doktrin yang membelenggu manusia, melainkan berkembang dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Misalnya kita sering mendengar tentang ilmu-ilmu pengetahuan humanistik. Tetapi apakah artinya itu? Wilhelm Dulthey (1833-1911) dalam gagasannya tentang Geisteswissenchaften, yang akan kita jadikan ancang-ancang untuk menjawab tentang pertanyaan di atas. Istilah Geisteswissenchaften bisa kita terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”. Disiplin keilmuan yang menurut Dilthey menggunakan metode ini adalah apa yang biasanya kita sebut ilmu-ilmu sosial, misalnya ekonomi, psikologi, antropologi budaya, sosiologi, ilmu hukum, ilmu politik. Pertanyaan berikutnya adalah di manakah letak humanistiknya Geisteswissenchaften, atau dalam hal apakah Geisteswissenchaften dikatakan sebagai humanistik?
 Konsep Dilthey tentang manusia memang berbau humanisme. Menurut dia, gejala manusia adalah unik dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah subyek, bukan obyek. Jawaban tentang pertanyaan yang tepat untuk pertanyaan di atas adalah dengan melihat ciri humanistik Geisteswissenchaften. Yakini, tekanannya pada keunikan, subjektivitas, dan kerohanian manusia. Dalam Geisteswissenchaften manusia ditinggikan nilai dan martabatnya. Namun ada juga kalangan yang tidak setuju dengan teorinya Dilthey tentang Geisteswissenchaften yang seolah-olah meniadakan Naturwissenchaften (alam fisik yang natural). 
Seperti halnya Sosiologi Humanistiknya Max Webber, tidak lalu menghilangkan peran statistik. Demikian pula dengan Psikolog Humanistiknya Abraham Maslow, yang tidak mengabaikan arti pentingnya Behaviorisme dan Psikoanalisa. Satu hal yang tampaknya menjadi trade mark mereka adalah: Manusia yang menjadi “obyek” telaah ilmu-ilmu mereka, diperlakukan secara hormat sebagai “subyek”. Maka sah saja bagi kita untuk mendefinisikan ilmu-ilmu humanistik sebagai ilmu-ilmu yang menempatkan manusia sebagai subyek, sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaannya.

·         HUMANISME ISLAM ABAD XXI
Apakah humanisme Islam dapat diimplementasikan dalam pelataran hidup umat manusia pada abad XXI, ternyata merupakan sebuah tanda tanya besar. Tetap tak ada jawaban pasti hingga kini, apakah humanisme Islam memiliki tempat yang istimewa dalam perkembangan sejarah kaum Muslim pada abad XXI. Memang, Islam hadir sebagai agama berpengaruh di dunia justru karena mengandung ajaran yang menjunjung tinggi humanisme. Islam memandang bermakna kehidupan umat manusia (Al Qur’an, 21/Al Anbiyaa’: 10). Itulah mengapa, sejak abad X Islam berhasil mendorong lahirnya kebudayaan dan peradaban yang kemudian memberikan penekanan pada pentingnya warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno. Inilah yang kemudian ditengarai sebagai “Renaisans Islam”. Sekitar dua abad kemudiaan setelah itu, yakni pada abad XII, Renaisans Islam diduplikasi oleh Renaisans Barat .Apa yang kemudian bisa disimpulkan adalah ini.
 Jika Renaisans Islam pada abad X merupakan momentum waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno, maka Renaisans abad XII di Barat merupakan sebuah kurun waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan Yunani Kuno dan warisan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. 
·         Realitas Suram
Pertanyaannya kemudian, apakah pengalaman historis memasuki fase Renaisans abad X itu dapat humanisme?
Ternyata, jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidaklah cukup mengembirakan. Abad XXI kini justru ditandai oleh munculnya apa yang disebut the problem with Islam . Etika, epistemologi dan praksis kehidupan umat Islam kini tak sejalan dengan cita-cita humanisme Islam yang muncul pada abad X. Realitas yang terbentang dalam kehidupan kaum Muslim pada abad XXI kini justru mengingkari keagungan Islam sendiri sebagai agama yang mampu menyuntikkan spirit untuk menjunjung tinggi ilmu pengetahuan (Al Qur’an, 58/Al Mujaadilah:11). 
Umat Islam  malah lekat dengan gambaran radikalisme, terorisme dan keterbelakangan dalam bidang sosial maupun ekonomi. Umat Islam yang besar secara kuantitas bukanlah kekuatan yang berdiri di garda depan perkembangan dahsyat ilmu pengetahuan dan filsafat. Umat Islam benar-benar laksana buih di lautan yang dihempaskan ombak ke pantai. Para cendekiawan Muslim yang sadar akan kenyataan ini lantas berhadapan dengan pertanyaan besar: Apakah abad XXI kini merupakan episode keterjatuhan umat Islam hingga pada titik nadir yang sangat dalam? Realitas suram dalam kehidupan umat Islam pada abad XXI dapat disimak pada berbagai kontras yang terjadi antara dulu dan kini. Ketika para ilmuwan Muslim pada abad pertengahan berhasil menemukan aljabar, mengembangkan ilmu pengetahuan eksperimental serta menerjamahkan karya-karya Plato dan Aristoteles dalam bidang filsafat, humanisme Islam abad X sesungguhnya memiliki bentuk secara lebih kongkret dibandingkan dengan humanisme sekuler yang berkembang kemudian di Eropa sejak sekitar abad XII. Mengingat tak pernah ada jejak anti-ilmu pengetahuan yang tertoreh ke dalam Al Qur’an, maka warisan paling berharga dari Renaisans Islam adalah the great kingdom of reason.
Itulah mengapa, secara substansial, kaum Muslim tak pernah berada dalam satu titik pertentangan antara rasio dan dan wahyu (reason and revelation). Sebagaimana tampak pada pengaruhnya di Eropa Barat melalui jalan penyebaran Islam di Spanyol, keberagamaan kaum Muslim benar-benar melahirkan kebudayaan dan peradaban. Sementara, kebudayaan dan peradaban itu memberi tempat secara terhormat kepada humanisme. Sayangnya, kenyataan itu tak cukup diapresiasi pada abad XXI kini. Umat Islam telah mencerai-beraikan keyakinan keagamaan mereka dengan humanisme. Tak mengherankan jika muncul pola-pola keberagamaan yang garang, tetapi kemudian dibanggakan sebagai suatu bentuk keber-Islam-an yang gagah perkasa.
 Pada berbagai negara bangsa dengan umat Islam sebagai yang terbesar secara demografis, perbenturan wahyu dan rasio benar-benar mengemuka sebagai persoalan. Tragisnya lagi, persoalan tersebut mengejawantah ke dalam dunia politik. Praktik keberagamaan Islam dalam konteks ini benar-benar kehilangan watak humanistiknya. Atas nama Islam, sekelompok orang dengan mudahnya mengembangkan radikalisme dan terseret ke dalam aksi-aksi teror. Bukan saja umat Islam semakin tampak gamblang kejumudannya, lebih dari itu ekspresi keber-Islam-an kaum Muslim telah sedemikian rupa mengingkari arti penting penghargaan terhadap humanisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar