Asal Usul dan Sejarah
Debus
Debus
adalah sebuah kesenian bela diri asli dari Banten. Kesenian ini tercipta pada
masa Pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin (1532-1570 di abad ke-16 . kesenian
debus biasanya mempertunjukan kekuatan atau kemampuan manusia yang luar biasa,
diantaranya ilmu ke kebalan yang tahan dari hantaman senjata tajam, hempasan
api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh, menggoreng telur di
kepala, berjalan diatas beling, menaiki tangga golok danlain sebagainya .
Ditinjau
dari bentuk permainannya, debus dapat digolongkan salah satu pertunjukan
(upacara) syaman, tetapi ditilik dari isi dan pelaksanaannya bertahan erat
dengan keagamaan (Islam). Tidak mustahil memang telah terjadi perpaduan
diantara berbagai unsur budaya tersebut. Ini mungkin juga merupakan jalan untuk
menjawab pertanyaan sejak kapan permainan debus ada di Indonesia ? Bila jalan ini benar maka unsur-unsur
permainan debus sudah ada sejak masa prasejarah, sedangkan bentuk seperti kita
dapati sekarang ini berasal dari masa awal perkembangan Islam di Indonesia.
Yang
menonjol dalam permainan ini adalah pertunjukan kekebalan orang terhadap
berbagai senjata tajam. Permainannya merupakan permainan kelompok. Di kerajaan
Banten dahulu, yang terkenal sebagai penyebarluas agama dan budaya Islam,
pertunjukan kekebalan yang sangat digemari dan dibanggakan oleh masyarakat
Banten ini dimanfaatkan sebagai sarana untuk penyiaran agama Islam, seperti
halnya dilakukan oleh para Wah. Pada masa perlawanan terhadap penjajahan Belanda
kesenian ini digiatkan sebagai penegak disiplin dan memupuk keberanian rakyat.
Unsur-unsur Permainan
Debus
1. Pemain,
terdiri atas syeh atau pemimpin permainan debus, para pezikir, pemain dan
penabuh.
2. Peralatan
permainan terdiri atas debus dengan gada nya, golok, pisau, bola lampu, kelapa,
alat penggoreng dan lain-lain.
3. Alat
musik untuk pingiring permainan debus terdiri atas: gendang besar, gendang
kecil, rebana dan kecrek.
Seorang
pemain debus harus kuat, tabah dan yakin kepada diri sendiri. Mereka harus taat
menjalankan kewajiban-kewajiban agama Islam, tahan lapar, tahan tidak tidur,
tahan tidak bergaul dengan isteri selama waktu yang ditentukan dan lain-lain
persyaratan yang untuk orang kebanyakan dirasakan berat.
Seperti
halnya seni tradisional yang lain, debus pun semakin sedikit
penggunaannya, apalagi mereka yang tertarik untuk jadi pemain guna
pelestariannya. Alangkah sayangnya kalau kepandaian yang langka ini punah. Ya,
masih untunglah sekarang masih ada beberapa perkumpulan yang bertahan, bahkan
dapat main digelanggang yang lebih luas seperti di tempat-tempat wisata dan
bahkan di luar negeri.
Kesenian
ini sungguh mencekam, bahkan mengerikan tetapi juga menarik perhatian, apalagi
para turis asing yang umumnya tidak percaya akan hal-hal di luar nalar (irrasional).
Layaknya bila kita ikut memikirkan upaya pelestariannya dengan membina
latihannya, organisasinya dan ikut mengusahakan "pemasaran"
pementasannya. Kerjasama sebaik-baiknya antara masyarakat setempat dengan pihak
Pemda, Depdikbud dan Dep. Parpostel kiranya dapat memecahkan persoalan ini.
Semoga saja kesenian debus ini tidak punah dan tetap dilestarikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar