Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka filsafat menelaah
segala masalah yang yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai
dengan fungsinya sebagai pioneer, filsafat mempermasalahkan
hal-hal yang pokok. Terjawab masalah yang satu, filsafat pun mulai
merambah kepada pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Dalam tiap kurun zaman, tentu saja mempunyai masalah-masalah yang
merupakan "mode" pada waktu itu. Filsafat yang sedang pop dewasa ini,
mungkin mengenai UFO; apakah cuma kita satu-satunya "manusia"
yang menghuni semesta ini ? Sekiranya diperkirakan terdapat 60 planet
yang mempunyai kondisi seperti bumi, apakah cuma kita yang berpenghuni ?
Mungkinkah surga dan neraka berada di jagat raya ini meskipun di
galaksi lain ? Ataukah benda-benda langit itu pernah berpenghuni dan
saling menghancurkan setelah mencapai abad teknologi nuklir ? (Bacalah
buku Carl Sagan yang berjudul The Cosmic Connection, sebagai hiburan di waktu senggang).
Selaras dengan usaha peningkatan kemampuan penalaran manusia, maka Filsafat Ilmu pun menjadi ngetop.
Sedangkan dalam masa-masa mendatang, maka yang akan menjadi perhatian
khalayak ramai, kemungkinan bukan lagi filsafat ilmu, melainkan Filsafat Moral yang "berkaitan" dengan ilmu.
Seorang professor yang penuh humor, mendekat permasalahan yang dikaji filsafat dengan sajak seperti berikut :
What is a man ?
What is ?
What ?
Maksudnya adalah, bahwa dalam hal ini ada terdapat 3 tahapan untuk menyikapi permasalahan-permasalahan tersebut, yakni :
Tahap Pertama
Pada tahap mula sekali, filsafat mempersoalkan siapakah manusia itu : Hallo, siapa kau ?
Tahap ini dapat dihubungkan dengan segenap pemikiran ahli-ahli filsafat
sejak zaman Yunani Kuno sampai sekarang yang rupa-rupanya tak kunjung
selesai mempermasalahkan makhluk yang satu ini. Kadang kurang kita
sadari, bahwa tiap ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial (social sciences), mempunyai asumsi
tertentu tentang manusia yang menjadi lakon utama dalam kajian
keilmuannya. Mungkin ada baiknya jika kita mengambil contoh yang agak
berdekatan, yakni ilmu ekonomi dan manajemen. Kedua ilmu ini mempunyai asumsi yang berbeda-beda tentang manusia.
Ilmu ekonomi, misalnya, mempunyai asumsi bahwa manusia adalah
makhluk ekonomi, yang bertujuan mencari kenikmatan sebesar-besarnya dan
menjauhi ketidaknyamanan semungkin bisa. Dia adalah makhluk hedonis yang tak pernah merasa cukup. Atau dalam proposisi ilmiahnya : mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Sedangkan ilmu manajemen, mempunyai asumsi yang berbeda tentang manusia. Karena bidang telaahan ilmu manajemen, lain halnya dengan ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi, bertujuan menelaah hubungan manusia dengan barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan ilmu manajemen,
bertujuan untuk menelaah tentang "kerja sama" antar sesama manusia,
untuk mencapai suatu tujuan yang disetujui bersama (atau dengan kata
lain, musyawarah untuk mufakat).
Cocokkah asumsi bahwa manusia adalah Homo Oeconomicus bagi
manajemen yang tujuannya menelaah "kerja sama" antar sesama manusia ?
Saya rasa, TIDAK ! Apakah motif ekonomis yang mendorong seseorang untuk
ikut menjadi sukarelawan memberantas kemiskinan dan kebodohan ? Saya rasa, juga BUKAN ! Dan untuk itu, ilmu manajemen mempunyai beberapa asumsi tentang manusia tergantung dari perkembangan dan lingkungannya masins-masing; seperti makhluk ekonomi, makhluk sosial, dan makhluk aktualisasi diri.
Mengkaji permasalahan-permasalahan manajemen dengan asumsi manusia dalam
kegiatan ekonomis, bisa menyebabkan timbulnya kekacauan dalam analisis
yang bersifat akademik. Demikian juga, mengkaji permasalahan-permasalahan ekonomi dengan asumsi yang lain di luar makhluk ekonomi (katakanlah makhluk sosial, seperti asumsi dalam manajemen), bisa menjadikan ilmu ekonomi menjadi moral terapan, mundur sekian ratus tahun ke Abad Pertengahan. Sayang, bukan....???
"....The right (assumption of) man on the right place....". Mungkin kalimat ini perlu kita gantung di tiap-tiap pintu masing-masing disiplin keilmuan.
Tahap Kedua
Tahap yang kedua ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkisar tentang ada (wujud), tentang hidup, dan tentang eksistensi manusia. Apakah hidup ini sebenarnya ? Apakah hidup itu hanya sekedar peluang dengan nasib yang melempar dadu acak (random)
? Bila asumsi Tuhan itu adil, maka penciptaan haruslah diacak. Bila
asumsi Tuhan itu adil, Tuhan tidak melempar dadu. (Nah, disinilah salah
satu letak perbedaan antara ni'mat (nikmat) dengan istidroj). Ataukah
hidup ini sama sekali absurd, tanpa arah tanpa bentuk, bagaikan amoeba yang berzigzag ? Dan nasib adalah bagaikan sibernetik dengan "umpan balik" pilihan probabilistik ? Atau barangkali suatu maksud ?
Ketika 2 abad berselang setelah Bruder Juniper menciptakan sastra klasiknya, yakni The Bridge of San Luis Rey
yang sangat termasyhur itu, satu-satunya jembatan yang paling indah di
seluruh Peru ambruk, hingga melemparkan 5 orang ke dalam jurang yang
sangat dalam itu. Adalah hal yang sangat sulit untuk mengetahui kehendak
Tuhan, namun sama sekali tidak berarti bahwa hal ini tidak akan pernah
bisa kita ketahui, dan mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah berpihak
kepada kita, hingga mengatakan bahwa Tuhan terhadap kita adalah bagaikan
lalat yang dibunuh kanak-kanak pada suatu hari di musim panas. (Bacalah
buku Fajar Kurnia Harseno yang berjudul Introspeksi, sebagai bacaan di waktu senggang, agar kita tak terlalu jauh belok dari tikungan per-empat-an tadi. Barangkali kita "salah jalan". Hehe....).
Dengan nasib jadi algojo yang kejam;
memaku mimpi,
harapan, kasih sayang;
cemas, bimbang, rengkah,
nafsu;
di atas kayu silang ?!
Ah, spekulasi macam begini hanya omong kosong percuma yang buang-buang waktu saja.
O science metaphysical
And very very quizzical
You only make this maze of life the mazier....
Mungkin ada seorang ilmuwan berkata : "Sama sekali tidak ada hubungannya dengan permasalahan keilmuan Saya....". (Hmm..., dikiranya ilmu itu cuma rumus-rumus, laboratorium, teori, itu saja !). Dan ketika laboratorium riset genetika menghasilkan penemuan yang menyangkut hari depan manusia, akankah dia cuma mengangkat bahu dan berkata : "Mengapa ribut-ribut ? Bikin saja semua manusia IQ-nya 160 secara massal, habis perkara !". (Aduh, ilmuwan macam begini bukan saja picik, namun juga berbahaya. Dia benar-benar tidak tahu di tidaktahunya).
Namunpun demikian, jika kita ingin menggumuli permasalahan-permasalahan
semacam itu; baik tentang genetika, social engineering, atau bahkan bayi
tabung; maka asas-asasnya tidak terdapat dalam ruang lingkup
teori-teori ilmiah. Kita harus berpaling kepada filsafat (bukan berpaling dari filsafat), kemudian memilih-milih landasan moral; apakah suatu kegiatan ilmiah secara etis dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Tahap Ketiga
Tahap pertama beres, tahap kedua juga beres. Nah, pada tahap yang ketiga ini skenarionya bermula pada suatu pertemuan ilmiah "tingkat tinggi", dimana seorang ilmuwan berbicara panjang lebar ngalor ngidul
tentang suatu penemuan ilmiah dalam risetnya. Setelah berjam-jam dia
bicara, dia pun menyeka keringatnya, dan berkata kepada hadirin : "Adakah kiranya yang belum jelas ?". Salah seorang bangkit dan seperti seorang yang pekak memasang kedua belah tangan di samping telinganya : "Apa....??!". (Waah, rupanya sejak tadi dia tak mendengarkan apa-apa).
Memang, pemuda yang satu itu sejak tadi tidak mendengarkan apa-apa, sebab tidak tertarik mendengarkan apa-apa, karena tidak ada apa-apa yang berharga untuk didengarkan. Pemuda nyentrik nan keren
itu, baru mau mendengarkan pendapat yang bersifat ilmiah, jika pendapat
itu dikemukakan lewat cara/proses/prosedur ilmiah. Jadi meskipun
seorang pembicara mengutip pendapat sekian pemenang hadiah Nobel, mengemukakan sekian fakta yang aktual;
namun bila bagi dia tidak jelas yang mana masalah yang mana hipotesis,
yang mana kerangka pemikiran yang mana kesimpulan, yang keseluruhannya
terkait dan tersusun dalam penalaran ilmiah, bagi dia tetap saja semua
itu hanya sekedar GIGO (maksudnya keluar dari telinga kiri G dan keluar telinga kanan juga G).
G-(arbage)-In-G-(arbage)-Out : pemeo dalam bahasa komputer bahwa input bagi komputer itu sampah, maka yang keluarnyapun juga sampah.
Filsuf kelahiran Austria, yakni Ludwig Josef Johann Wittgenstein, atau yang lebih akrab dengan nama LUDWIG VON WITTGENSTEIN (1889-1951) dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus mengatakan : "Tugas
utama filsafat bukanlah sekedar menghasilkan sesusun pernyataan
filsafati, tetapi juga menyatakan sebuah pernyataan sejelas mungkin.
Masalah filsafat sebenarnta adalah masalah bahasa". Nah, dengan demikian maka epistemologi dan bahasa merupakan gumulan utama para filsuf dalam tahap ini. Bahasa, termasuk juga matematika, yang secara filsafati bukan cuma merupakan ilmu, melainkan sebagai bahasa non-verbal. Adalah merupakan pokok pengkajian filsafat sejak abad 20 kemarin.
Jika masih ada ahli teknologi yang memandang rendah terhadap bahasa,
maka kemungkinan besar dia sudah terlalu jauh "ketinggalan kereta".
(Ketiduran barangkali...!). Bukankah ada peribahasa mengatakan : Batas bahasaku adalah batas duniaku?
Semoga ilmuwan ini tidak bertemu dengan orang pekak yang katanya
menjengkelkan itu; yang tanpa timbang rasa melemparkan segerobak
pendapat kita ke tong sampah. Hancur jadi abu !
Bahkan pernah, ungkapan rasa jengkel seorang penguji kepada seorang promovendus : "Masalah
utama dengan disertasi Anda, ialah bahwa Anda berlaku seperti seorang
pemborong bahan banguna, dan bukan arsitek yang membangun gedung. Memang
batanya banyak sekali, bertumpuk di sana sini, tapi tidak merupakan
dinding; kayunya menumpuk sekian meter kubik, namun tidak merupakan
atap. Sebagai ilmuwan, Anda harus membangun kerangka dengan bahan-bahan
tersebut, kerangka pemikiran yang original dan meyakinkan, disemen
dengan penalaran dan pembuktian yang tidak meragukan....". (Waduuh, gaawat !).
Ah, daripada disebut pemborong bahan bangunan, lebih baik cape sedikit
balajar lagi. Memang, lebih baik mengasah parang daripada sekian ratus
halaman dari disertasi kita sia-sia dibuang orang. Sayang, kan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar