Pengetahuan atau knowledge adalah hal tahu atau pemahaman
akan sesuatu yang bersifat spontan tanpa mengetahui seluk beluknya
secara mendalam. Pada hakikatnya, segala apa yang kita ketahui tentang
sesuatu objek tertentu. Ciri pengetahuan adalah tidak terbuka atas dasar
pengamatan dan pemeriksaan. Sedangkan ilmu pengetahuan atau science
adalah ilmu pengetahuan yang bersifat metodis, sistematis dan logis.
Metodis maksudnya pengetahuan tersebut diperoleh dengan menggunakan cara
kerja yang terperinci dan telah ditentukan sebekumnya (deduktif dan induktif).
Sistematis
maksudnya pengetahuan tersebut merupakan suatu keseluruhan yang mandiri
dari hal-hal yang saling berhubungan sehingga dapat
dipertanggungjawabkan. Logis merupakan pernyataan yang satu dengan yang
lainnya mempunyai hubungan rasional sehingga dapat ditarik kesimpulan
yang rasional juga.
Mendefinisikan pengetahuan merupakan kajian panjang sehingga terjadi
pergulatan sejarah pemikiran filsafati dalam menemukan pengertian
pengetahuan. Hal ini wajar karena “keistimewaan” filsafat adalah
perselisihan, pergumulan pemikirannya itu berlangsung terus selamanya.
Suatu produk pemikiran filsafat selalu ada yang menguatkan, mengkritik,
melemahkan bahkan akan ada yang merobohkan pemikiran itu. Kelakpun akan
dijumpai yang satu menegaskan sedang yang lain mengingkari. Begitulah
seterusnya akan selalu berada dalam bingkai dialektika.
Berbincang mengenai filsafat baru mulai merebak di abad awal 20,
namun France bacon dengan metode induksi yang ditampilkannya pada abad
19 dapat dikatakan sebagai peletak dasar filsafat ilmu khasanah bidang
filsafat secara umum. Sebagian ahli filsafat berpandangan bahwa
perhatian yang besar terhadap peran dan fungsi filsafat ilmu mulai
mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Dalam hal ini, ada semacam ke khawatiran
yang muncul pada kalangan ilmuan dan filsuf, termasuk juga kalanagan
agamawan, bahwa kemajuan iptek dapat mengancam eksistensi umat manusia,
bahkan alam dan beserta isinya.
Para filsuf terutama melihat ancaman tersebut muncul lantaran
pengembangan iptek berjalan terlepas dari asumsi-asumsi dasar
filosofisnya seperti landasan ontology, epistemologis dan aksiologis
yang cenderung berjalan sendiri-sendiri. Untuk memahami gerak
perkembangan iptek yang sedemikian itulah, maka kehadiran filsafat ilmu
sebagai upaya meletakkan kembali peran dan fungsi iptek sesuai dengan
tujuan semula, yakni mendasarkan diri dan concern terhadap kebahagian
umat manusia, sangat di perlukan, inilah beberapa pokok bahasan utama
dalam pengenalan terhadap filsafat ilmu, disamping objek dan pengertian
filsafat ilmu yang kan dijelaskan terlebih dahulu.
PEMBAHASAN
2.1. Ilmu dan Filsafat
2.1. Ilmu dan Filsafat
Ilmu merupakan pengetahuan yang digumuli sejak di bangku sekolah
sampai pada pendidikan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita
berterus terang kepada diri kita sendiri; Apakah sebenarnya yang saya
ketahui tentang ilmu?, Bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan
pengetahuan yang benar?
Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh.
Seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi sudut
pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam
konstelasi pengetahuan yang lainnya, misalnya Dia ingin tahu kaitan ilmu
dengan moral. Selain itu membongkar tempat berpijak secara fundamental,
inilah karakteristik yang keua dari berpikir filsafat yaitu mendasar.
Apakah yang sebenarnya ditelaah filsafat? Selaras dengan dasarnya
yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat
dipikirkan oleh manusia, mempersoalkan hal-hal yang pokok; terjawab
masalah yang satu, diapun mulai merambah pertanyaan lainnya. Pokok
permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang
disebut benar dan apa yang disebut dengan salah (logika), mana yang
dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika) dan apa yang termasuk
indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang ini
kemudian berkembang luas hingga saat ini yang melahirkan berbagai cabang
kajian filsafat yang kita jumpai seperti filsafat politik, pendidikan
dan agama.
Pengertian filsafat menurut istilah yang diberikan oleh beberapa ahli
yang terkadang jauh lebih luas dibandingkan dengan arti menurut bahasa.
Plato (427 – 347 SM), filosof Yunani yang termashur murid Socrates,
menyatakan bahwa Filsafat itu tidaklah lain daripada pengetahuan tentang
segala yang ada. Sementara Al Farabi (wafat 950 M) filosof muslim
terbesar sebelum Ibnu Sina berkata: “Filsafat itu ialah ilmu pengetahuan
tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakekatnya
yang sebenarnya”. Sedangkan Thomas Hobbes (1588 – 1679 M), seorang
filosof Inggris mengemukakan: “Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang
menerangkan perhubungan hasil dan sebab atau sebab dari hasilnya, dan
oleh karena itu senantiasa adalah suatu perubahan.
Dari definisi di atas dapat dilihat adanya perbedaan dalam
mendefinisikan filsafat antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.
Perbedaan definisi ini menurut Abu Bakar Atjeh disebabkan oleh berbedaan
konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbedaan keyakinan hidup
yang dianut mereka. Perbedaan itu juga dapat muncul karena perkembangan
filsafat itu sendiri yang menyebabkan beberapa pengetahuan khusus
memisahkan diri dari filsafat. Di sini dapat diambil kesimpulan bahwa
perbedaan definisi filsafat antara satu tokoh dengan tokoh lainnya
disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat pada mereka masing-masing.
2.2. Pengertian dan Dasar-dasar Pengetahuan
2.2.1. Pengertian Pengetahuan
Mendefinisikan pengetahuan merupakan kajian panjang sehingga terjadi
pergulatan sejarah pemikiran filsafati dalam menemukan pengertian
pengetahuan. Hal ini wajar karena “keistimewaan” filsafat adalah
perselisihan, pergumulan pemikirannya itu berlangsung terus selamanya.
Suatu produk pemikiran filsafat selalu ada yang menguatkan, mengkritik,
melemahkan bahkan akan ada yang merobohkan pemikiran itu. Kelakpun akan
dijumpai yang satu menegaskan sedang yang lain mengingkari. Begitulah
seterusnya akan selalu berada dalam bingkai dialektika.
Sedangkan Ilmu merupakan pengetahuan yang terorganisasi dan diperoleh
melalui proses keilmuan. Sedangkan proses keilmuan adalah cara
memperoleh pengetahuan secara sistematsi tentang suatu sistem. Perolehan
sistematis ini biasanya atau pada umunya berupa metode ilmiyah. Dari
proses metode ilmiah itu melahirkan “science”. Science
atau tepatnya Ilmu pengetahuan memilki arti spesifik bila digandengkan
dengan ilmu pengetahuan yaitu sebagai kajian keilmuan yang tersistematis
sehingga menjadi teori ilmiah-obyektif ( dapat dibuktikan secara
empiris ) dan prediktif ( menduga hasil empiris yang bisa diperiksa
sehingga bisa jadi hasilnya bersesuaian atau bertentangan dengan realita
empiris).
Pengetahuan dalam pandangan Rasionalis bersumber dari “Idea”.
Tokoh awalnya adalah Plato (427-347). Menurutnya alam idea itu kekal,
tidak berubah-ubah. Manusia semenjak lahir sudah membawa idea bawaan
sehingga tinggal mengingatnya kembali untuk menganalisa sesuatu itu.
Istilah yang digunakan Rene Descartes (1596-1650) sebagai tokoh
rasionalis dengan nama “innete idea”. Penganut rasionalis tidak percaya
dengan inderawi karena inderawi memiliki keterbatasan dan dapat
berubah-ubah. Sesuatu yang tidak mengalami perubahan itulah yang dapat
dijadikan pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan. Aristatoles dan para
penganut Empirisme-Realisme menyangggah
yang disampaikan oleh kaum
Rasionalis. Mereka berdalih bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada.
Hukum-hukum dan pemahaman yang universal bukan hasil bawaan tetapi
diperoleh melalui proses panjang pengamatan empiric manusia. Aristatoles
berkesimpulan bahwa ide-ide dan hukum yang universal itu muncul
dirumuskan akal melalui proses pengamatan dan pengalaman inderawi.
Pengetahuan yang tidak bisa diukur dan dibuktikan dengan
empiric-realitas-material merupakan pengetahuan yang hayali, tahayul dan
bohong (mitos). Aliran empirisme menyatakan bahwa pengetahuan itu
diperoleh melalui pengalaman-pengalaman yang konkrit. Sedangkan aliran
rasionalis berpendapat bahwa pengetahuan manusia didapatkan melalui
penalaran rasional. Kedua pendekatan ini merupakan cikal bakal lahirnya
positivisme modern dalam kajian keilmuan.
2.2.2. Dasar-dasar Pengetahuan
Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada
komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu,
yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga landasan pemikiran
filsafat dimaksud, tidak bersifat partikular (terlepas pisah), namun
saling terkait secara utuh, dalam rangka memberikan landasan-landasan
yang kokoh bagi pemikiran, maupun pengembangan pemikiran itu sendiri
dalam bentuk ilmu, pengetahuan, teknologi, maupun dalam bentuk lakon
kehidupan yang aktual.
a) Landasan Ontologis.
Istilah ontologi diambil dari bahasa Yunani On ontos artinya ada atau
keberadaan dan logi artinya pikiran atau ilmu. Jadi, Ontologi artinya
ilmu tentang ada atau keberadaan itu sendiri. Maksudnya, sebuah
pemikiran filsafat, selalu diandaikan berasal dari kenyataan tertentu
yang bersifat ada atau yang sejauh bisa diadakan oleh kegiatan manusia.
Tegasnya, bila sebuah pemikiran tidak memiliki keberadaan (landasan
ontologi) atau tidak mungkin pula untuk diadakan maka pikiran itu hanya
berupa hayalan, dorongan perasaan subyektif atau kesesatan berpikir yang
dapat ditolak atau disangkal kebenarannya. Hakikat ada atau realitas
ada itu, bagi filsafat, selalu bersifat utuh (eksistensial). Misalnya,
bila secara ilmu hukum, kita berpikir tentang kebenaran atau keadilan
maka dapat ditunjukkan bahwa kebenaran atau keadilan itu ada atau bisa
diadakan dalam hidup manusia sehingga bisa dibuktikan atau ditolak
(disangkal) kebenarannya. Konsekuensinya, bila berpikir tentang Tuhan
ataujiwa maka sekurang-kurangnya, harus dapat dibuktikan atau
ditunjukkan bahwa Tuhan atau jiwa itu ada, bila tidak maka pikiran itu
hanya berupa sebuah ide kosong atau khayalan yang muda ditolak
kebenarannya. Realitas ontologis itulah yang menjadi dasar pemikiran
hukum, teologi, atau psikologi sehingga pemikiran huku, teoloigi atau
psikhologi tersebut bisa dibuktikan dan dukung (di-affirmasi) atau
difalsifikasikan (ditolak), atau disingkirkan (di-negasi). Realitas ada
yang menjadi obyek pemikiran dan pembuktian sebuah pemikiran filsafat
selalu dipahami sebagai sebuah kenyataan yang utuh, sempurna dan
dinamis, baik dari sisi materi dan rohani, atas-bawah, hitam-putih, dan
sebagainya. Ontologi, terbagi atas dua, yaitu; ontologi umum yang
disebut metafisika, dan ontologi khusus, seperti, Kosmologi, Theodice,
dan sebagainya.
b) Landasan Epistemologi.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani Episteme = pikiran atau pengetahuan dan logi atau logos
= pengetahuan atau ilmu. Jadi, Epistemologi artinya pengetahuan tentang
pengetahuan, atau filsafat pengetahuan. Maksudnya, bagi filsafat,
setiap realitas apa pun, baik yang berupa realitas fisik, pikiran, ide,
teks, pandangan hidup, budaya, ideologi, ajaran, keyakinan keagamaan,
dan sebaginya sebagaimana pada landasan ontologis di atas, selalu
memiliki struktur kenyataan yang mengandung ide, peta pemikiran (peta
kognitif), struktur tata nilai dan pemahaman. Kenyataan itu, karenanya,
harus digali, dikaji, diuji, dan diramu secara mendalam, sebagai sebuah
sistem pemikiran atau sistem pengetahuan yang khas.Epistemologi
membicarakan 2 hal;
a. Hakikat pengetahuan, yang meliputi:
– realisme, yaitu pengetahuan manusia riil adanya dalam kehidupan.
– idealisme, yaitu hakikat ilmu pengetahuan tidak terdapat dalam dunia riil, melainkan konsep ideal atau dunia ide-ide.
b. Sumber Pengetahuan, muncul 3 pandangan;
– rasionalisme, mengatakan bahwa sumber pengetahuan muncul dari rasio (akal) manusia.
– Empirisme, sumber pengetahuan adalah indera manusia.
– Kritisme, pengetahuan manusia bersumber dari luar diri manusia, yaitu Tuhan.
Karena itu Epistemologi lebih dipahami sebagai aspek kritis dari
filsafat yang berupaya mempertanyakan, merumuskan, menganalisis,
menguji, dan menyempurnakan segala yang ada menjadi sistem pemikiran
atau sistem pengetahuan tertentu. Epistemologi, dalam hal ini, berbicara
tentang hakikat, sumber, jangkauan, kebenaran, cara membangun pemikiran
yang sehat dan lurus, serta metode atau cara kerja di dalam memperoleh
pengatahuan itu sendiri. Melalui epistemologi dapat diuji dan
ditunjukkan bahwa tidak semua pemikiran itu menjadi kebenaran-kebenaran
pengetahuan, dan tidak semua pengetahuan itu dapat menjadi kebenaran
ilmu. Alasanya, setiap pemikiran, pengetahuan, atau ilmu, termasuk
teknologi selalu memiliki dasar-dasar pertanggungjawaban epistemologis,
baik menyangkut kejelasan sumber, jangkauan, metode, maupun
pengandaian-pengandaiannya. Nampaknya, salah satu sisi penting dari
epistemologi adalah logika yang membicarakan tentang cara mengerjakan
pikiran yang benar (pikiran sehat).
c) Landasan Aksiologi.
Sebagaimana istilah Ontologi dan Epistemologi yang berasal dari
bahasa Yunani, demikian pula Aksiologi yang berasal dari kata axios
artinya pantas atau bernilai. Maksudnya, setiap pemikiran filsafat
dengan segala turunannya, baik dalam bentuk pengetahuan atau ilmu, harus
berlandas pada nilai-nilai kepantasan dan kewajaran. Alasannya, pikiran
itu adalah pikiran manusia (bukan pikiran malaikat atau binatang) yang
berhubungan langsung dengan manusia sebagai subyek dan obyek pikiran itu
sendiri. Bahkan, pikiran itu adalah pikiran seorang anak manusia yang
selalu bernilai bagi dirinya.
Axiologi, terbagi menjadi 6 pandangan;
- naturalisme, yang menyatakan ukuran baik buruk ialah sesuai tidaknya perbuatan tersebut sesuai dengan fitrah (natura) manusia.
- Hedonisme, yang menyatakan bahwa ukuran baik buruk ialah sejauh mana suatu perbuatan mendatangkan kenikmatan (hedone) bagi manusia.
- Vitalisme, ukuran baik buruk ditentukan oleh sejauh mana suatu perbuatan tersebut dapat mendorong manusia untuk hidup lebih maju.
- Ultitarianisme, Ukuran baik buruk ditentukan oleh ada tidaknya suatu perbuatan mendatangkan manfaat bagi manusia.
- Idealisme, ukuran baik buruk ditentukan oleh sesuai tidaknya sesuatu perbuatan dengan konsep ideal (rancang bangun) pikiran manusia.
- f. Teologis, baik buruknya suatu perbuatan ditentukan oleh sesuai tidaknya suatu perbuatan dengan ketentuan agama (teos=Tuhan, agama)
Tegasnya, segala pemikiran filsafat harus dapat diandaikan sebagai
bagian dari fenomena eksistensi manusia yang utuh, pantas, dan bernilai.
Suatu pemikiran yang pantas dan bernilai, selalu berurusan dengan upaya
yang sungguh untuk membebaskan manusia, mengangkat derajat manusia dan
menempatkannya sebagai subyek. Justru itu, setiap pemikiran filsafat,
termasuk ilmu dan pengetahuan, harus dikembalikan pada manusia dan
nilai-nilai kemanusiaan sebagai; dasar, sumber, norma, dan pangkalannya
yang tetap. Pengetahuan atau ilmu, dalam hal ini, selalu bertautan
dengan nilai, sehingga tidak ada ilmu yang bebas nilai dalam dirinya.
Pikiran, pengetahuan, atau ilmu selalu memiliki pertautan bathiniah
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diembannya. Bahkan, nilai kemausiaan
itu menjadi basis dan landasarn normantif bagi pengembangan ilmu.
Filsafat dengan landasan berpikir aksiologisnya ini hendak menegaskan
bahwa tidak ada pikiran, pengetahuan, atau ilmu yang bebas nilai.
Pikiran, pengetahuan, atau ilmu, pada dasarnya telah bersifat taut
nilai, baik dari sisi asalnya (sumbernya), prosesnya, maupun hasil
(penggunaan atau penerapannya).
Landasan aksiologi, karenanya, memberikan dasar yang kokoh bagi etika
keilmuan, baik dalam rangka tugas pengembangan ilmu itu sendiri maupun
penerapannya dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan,
kemasyarakatan, dan lingkungan hidup. Baik ilmu-ilmu murni maupun ilmu
terapan, tidak memiliki sebuah alasan yang memadai, dari daram dirinya
sendiri, untuk mangatakan diri sebagai ilmu yang bebas nilai, sebab
selalu ada saja tanggungjawab (nilai) yang diemban, baik dalam rangka
proses keilmuan maupun penerapan hasil keilmuan itu sendiri.
Singkatnya, dipadangkan dari isinya, studi filsafat bertujuan
memberikan dasar-dasar pengetahuan, serta pandangan yang sistematis
sehingga seluruh pengetahuan kita merupakan kesatuan yang utuh. Hidup
kita dipimpin oleh pengetahuan kita, sebab mengetahui kebenaran yang
terdasar berarti pengetahuan dasar hidup kita sendiri yang diselami.
Studi filsafat, memberikan dasar bagi ilmu pengetahuan lainnya mengenai
manusia seperti; ilmu mendidik, sosiologi, hukum, ilmu jiwa, dan
sebagainya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan makalah diatas, penulis dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi sudut pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya, misalnya Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Selain itu membongkar tempat berpijak secara fundamental, inilah karakteristik yang keua dari berpikir filsafat yaitu mendasar.
- Pengetahuan dalam bahasa Inggris barasal dari kata Knowledge yang berarti pengetahuan. Pengetahuan manusia yang maju mengenai hal-hal yang empiric disebut ilmu ( Science ).
- Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.
- Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar