Acapkali ketika mendengar istilah ‘filsafat’ serta merta orang
mengaitkannya dengan berpikir tingkat tinggi, beretorika atau hal-hal
yang sulit dipahami dengan akal pikiran yang biasa. Akibatnya seringkali
orang lebih cenderung menghindari ‘filsafat’. Hal ini tidak lepas dari
kecenderungan kebanyakan orang yang tidak mau bersusah payah untuk
berpikir tentang sesuatu secara mendalam. Orang cenderung memilih
sesuatu yang instan dan pragmatis, tidak mau repot-repot bahkan sekedar
untuk mempertimbangkan pilihannya.
Mengapa berfilsafat itu penting?
Berfilsafat itu berolah pikir. Ini berarti menggunakan segenap akal budi
dan pikiran dalam memandang segala sesuatu. Oleh karenanya berfilsafat
itu sebenarnya diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sejauh manusia
membutuhkan pencerahan hidup yang dituntun terang akal budi, maka
filsafat akan selalu dibutuhkan oleh manusia. Sebenarnyalah filsafat
adalah kehidupan itu sendiri. Filsafat akan menyerta dalam setiap
kehidupan manusia. Filsafat akan menuntun manusia untuk berpikir dan
berefleksi secara mendalam untuk menemukan makna terdalam hidup –
hakekat hidup dan kehidupan itu sendiri. Maka benarlah apa yang
disampaikan Prof. Dr. Marsigit M.A. bahwa sebenar-benar filsafat adalah
refleksi hidup manusia itu sendiri.
Bagaimanakah berfilsafat yang benar itu?
Menurut Prof. Dr. Marsigit M.A. berfilsafat yang benar dan terarah
adalah berfilsafat sesuai dengan konteksnya. Cara setiap orang
berfilsafat akan berbeda satu dengan yang lain, tergantung latar
belakang orang yang bersangkutan. Tentu saja orang yang beragama Islam
akan berbeda filsafatnya dengan orang Yahudi, berbeda pula dengan orang
Kristiani. Filsafat orang yang tidak beragama berbeda dengan orang yang
beragama. Cara orang dari suku Jawa berfilsafat tentu berbeda dengan
orang yang bersuku Batak atau suku Sunda dan lain sebagainya. Dengan
kata lain, orang berfilsafat dipengaruhi oleh konteksnya masing-masing.
Filsafat itu merupakan olah pikir yang masih terbuka secara spiritual
maupun non spiritual. Kiranya satu hal yang penting dalam berfilsafat
adalah orang harus meletakkan spiritual sebagai fondasi atau dasar dan
sekaligus muara dalam berfilsafat.
Setinggi-tingginya pengembaraan
pikiran dalam berfilsafat tetap masih dalam kerangka berspiritual.
Bagaimanapun di atas langit filsafat masih ada langit spiritual.
Berfilsafat semestinya diarahkan agar manusia dapat semakin mudah
menemukan Tuhan Sang Pencipta semesta, supaya manusia semakin dekat dan
menyatu dengan Sang Hidup sendiri. Find God in all things, demikian seperti disampaikan oleh St Ignatius Loyola salah seorang pujangga gereja, pendiri ordo Jesuit.
Kesadaran syarat awal berfilsafat
Seperti sudah disinggung di depan, filsafat akan menuntun manusia untuk
berpikir dan berefleksi secara mendalam untuk menemukan makna terdalam –
hakekat tentang sesuatu hal. Untuk bisa memahami hakekat tentang
sesuatu hal, manusia harus mempunyai kesadaran akan sesuatu hal
tersebut. Oleh karenanya syarat awal berfilsafat adalah kesadaran. Untuk
menggapai hakekat, manusia harus mampu meletakkan segenap kesadarannya
di depan mereka. Agar dapat menyadari tentang hakekat-hakekat itu,
manusia harus menerjemahkan dan diterjemahkan mereka dan dirinya dalam
ruang dan waktu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara berkomunikasi
dengan diri sendiri secara mendalam lewat membaca, berpikir secara
mendalam, merenung, berefleksi, berkontemplasi.
Memiliki kesadaran berarti mempunyai orientasi akan ruang dan
waktu. Mengenal dimensi ruang dan waktu. Di dalam berfilsafat manusia
melakukan berbagai eksperimen dengan melakukan manipulasi–manipulasi
ruang dan waktu. Mengetahui ruang dengan waktu dan waktu dengan ruang.
Dalam filsafat ada permaianan ruang dan waktu. Namun demikian dalam
filsafat tetaplah menghargai sopan dan santun terhadap ruang dan waktu.
Bahasa filsafat – bahasa analog
Filsafat itu penjelasan! Dalam filsafat kadang yang penting bukan
jawabannya, tapi penjelasannya. Sebagai contoh, atas pertanyaan dari
mana asalmu? Kita bisa menjawab berasal dari masa lalu, pun bisa
menjawab berasal dari masa depan. Sejauh bisa menjelaskan, maka jawaban
yang manapun benar. Untuk dapat menjelaskan dengan baik, manusia
membutuhkan bahasa yang mudah dimengerti dan mudah dipahami. Sayangnya,
bahasa manusia itu sakit - mempunyai kelemahan, tidak bisa digunakan
untuk mengungkapkan semua hal. Penyakit kebahasaan ini tidak lepas dari
kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia di dunia. Untuk mengatasi
keterbatasan ini, maka filsafat menggunakan bahasa analog. Bahasa analog
dipandang mampu mengkomunikasikan unsur-unsur dalam dimensi yang
berbeda. Budaya manusia menjadi berkembang karena bahasa analog. Sebagai
contoh mantan adalah bahasa analognya bekas. Tentu kita tidak pas jika
menyebut presiden yang tidak lagi menjabat misalnya dengan bekas
presiden, tetapi kita akan menyebut sebagai mantan presiden.
Demikianlah, bahasa dimensi atas digunakan untuk bahasa dimensi rendah
tidak cocok, pun sebaliknya. Jika demikian yang terjadi maka hidup tidak
akan selaras. Oleh karena itu bisa dikatakan bahasa analog dapat
membangun keselarasan dalam hidup. Kerapkali banyak hal lebih mudah
dijelaskan dengan bahasa analog agar mudah dimengerti dan dipahami.
Kisah pengajaran Yesus kepada para muridnya seperti diwartakan dalam
kitab Injil banyak disampaikan dengan perumpamaan-perumpamaan – dengan
bahasa analog. Karena dengan begitu ajaranNya bisa dikomunikasikan dalam
berbagai dimensi yang berbeda.
Akhirnya, berfilsafat itu mempunyai daya bongkar dan daya dobrak
yang luar biasa terhadap segala macam kemapanan, baik kemapanan
pemikiran dan kemapanan-kemapanan yang lain, bahkan kemapanan hidup.
Mungkin inilah salah satu alasan mengapa berfilsafat sering dihindari,
sebab orang tidak mau terusik dari zona mapannya. Dan ketika orang
berhenti berfilsafat maka sebenarnya kehidupan itu mandeg! Karena itu
berarti orang berhenti berpikir, berhenti berefleksi – berhenti merenung
seperti gunung di kedalaman kontemplasi. Lantas apa artinya hidup?
Bukankah hidup yang tidak pernah direfleksikan tidak layak untuk
dihidupi?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar